Pengin memiliki rumah indah dan nyaman adalah salah satu impian dan idaman pasangan muda yang belum punya rumah sendiri. Sering berandai-andai, berharap nanti kalo’ begini saya pingin rumah itu begitu, begini dan begitu lagi. Terus apapun biasanya diusahakan hingga keinginan itu terwujud nyata.
Namun setelah rumah terwujud, nyatanya masih banyak yang dirasa masih kurang sana, kurang sini, kamar kekecilan, furniture kurang sesuai, ventilasi udara kurang dan sebagainya. Apalagi jika rumah idaman itu dibeli langsung dari pengembang perumahan atau rumah seken, tentu banyak kondisi bangunan yang jauh dari keinginan, dirasa kurang nyaman, bahkan style yang jauh dari standard rumah idaman apalagi impian.
Rumah idaman tentu bukan berarti rumah besar, megah, dengan segala kemewahan didalamnya, rumah seperti demikian malah kurang cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia umumnya yang cenderung pada kesederhanaan namun tetap bersahaja, nyaman, lingkungan yang indah, terlebih didaerah yang aman.
Jika memang rumah yang jauh dari harapan yang didapat, maka mau tidak mau kita harus menciptakannya sendiri. Jika menginginkan suasana alam dengan gemericik air, tentu kita ciptakan kolam air dengan kricik-kricik air mengalir tiada henti ditambah suara ikan loncat-loncat, dinding kolam seperti batu gunung terjal, suara burung berkicau dipagi hari bagai tinggal di villa pegunungan jauh dari keramaian kota.
Yang menarik dari cerita diatas sepertinya bukan rumah dengan kolam indah, bukan pula villa pegunungan, namun apa yang tidak bisa diharapkan dari lingkungan sekitar kita, dijalan, dirumah, sekolah, kampus, kantor bahkan lingkungan terdekat kita, maka merupakan kewajibanlah kita menciptakannya.
Saya pernah setidaknya ngobrol dengan beberapa rekan se-profesi yang menyatakan keluhannya tentang apresiasi yang didapatkannya dari lembaga tempatnya berprofesi masih jauh dari nilai jerih payahnya. Betapa tidak, seorang dosen selain dituntut memiliki kemampuan yang lebih dibidang ilmu tertentu, masih ditambah lagi beban moral yang dia hadapi yang menuntut agar mahasiswa mampu menguasai bidang ilmu yang dibimbingnya, ternyata masih mendapatkan penghargaan yang belum sebanding. Terlebih saya sempat ‘menerima’ kritik tajam seseorang yang menyebutkan dosen dan alumni perguruan tinggi dimana saya berprofesi dengan sebutan ‘no comment’. Apalagi sebelumnya ketika saya pernah menjadi dosen pembimbing lapangan mahasiswa dalam melaksanakan kerja praktek, terpojok sekaligus kaget seperti mendapat hukuman telak ketika pengawas lapangan tempatnya kerja praktik menjelaskan ketidakmampuan si mahasiswa ini dalam melaksanakan pekerjaannya seperti misalnya si mahasiswa diminta membedakan antara mouse serial dengan ps/2. Ini berarti menurutnya dosen-lah yang bertanggung jawab atas pendidikan mahasiswa mereka, tanggung jawab moral yang cukup besar dan tidak mudah, tidak mudah karena itu semua juga tergantung pada kemauan dan potensi si mahasiswa itu sendiri. Guru, dosen, dokter, ataupun hakim adalah sebuah profesi yang mempunyai beban moral dan sering menjadi bulan-bulanan, namun kadang mereka tidak melihatnya sebagai beban melainkan lebih sebagai tanggung jawab. Guru, dosen, dokter, hakim ataupun profesi yang pada dasarnya adalah pengabdian, tidak akan sepadan (istilah Jawa: nggak gathuk) apabila di-rupiah-kan (apalagi hanya segini atau segitu yang malah membuat mengelus dada). Memang agak sulit untuk mengukur tinggi rendahnya apresiasi mereka kecuali mungkin bisa dilihat dari kepuasan mereka sendiri atau tingkat keprofesionalan mereka. Dengan demikian tingkat ke-profesionalan mereka perlu diperhatikan kembali, semakin profesional semakin tinggi pula apresiasi yang mereka peroleh, bahkan selain penghargaan yang tinggi juga tauladan yang diwariskannya..
Menilik profesi dosen, dosen merupakan intelectual property right suatu perguruan tinggi, dimana service perguruan tinggi banyak berpengaruh pada kualitas pendidikan yang dihasilkan disamping beberapa faktor lainnya. Setidaknya beberapa faktor itu antara lain: rasio antara dosen dengan mahasiswa, jumlah buku dengan mahasiswa, jumlah mahasiswa dengan kelas, rasio pendaftar dengan yang diterima, dan jumlah penelitian yang dilakukan oleh dosen. Sepertinya faktor-faktor tersebut sangat muskil bin mustahil apabila tidak dibarengi dengan orientasi perguruan tinggi untuk lebih mengedepankan kemampuan apa yang perlu dimiliki mahasiswanya daripada apa yang perlu diketahui mahasiswanya. Sepertinya lagi faktor-faktor diatas juga masih terasa kurang apabila fasilitas pendidikan tertinggal jauh kebelakang. Sepertinya lagi, ah… terlalu banyak sisi rumah yang perlu diperbaiki, ditambah semen dan pasir laut plus kerang-kerangan agar tampak cantik dan indah supaya ikan-ikan betah tinggal dikolam lebih lama lagi. Sepertinya lagi air kolam tiap 3 hari sekali atau minimal seminggu sekali diganti dan dibersihkan dindingnya dari lumut agar tampak fresh dan nyaman ditinggali.
Sepertinya memang butuh waktu dan pengorbanan untuk harus memperindah dan menciptakannya...
Balikpapan, 3 April 2005