Selasa, September 05, 2017

Khurafat, Jarh wa Ta’dil, dan Era Informasi Saat ini



Sabtu sore pekan lalu sy kembali mengajak anak-anak jalan-jalan ke toko buku. Sesampainya disana, langkah sy terhenti ketika melihat ada tumpukan buku hijau muda berjudul Mukadimah, karya Ibnu Khaldun. Bukunya sangat tebal, kira-kira dua rim atau seribuan halaman.

Saat membuka pertama kali, pandangan sy langsung tertuju pada kata Jarh wa Ta’dil. Apa itu? Pandangan sy kembali naik turun, scroll atas, scroll bawah. Di bagian atas ada kata khurafat. Apa itu? Agak ke bawah, terus meluncur dari paragraf satu ke paragraf berikutnya, ada filusuf Mobedzan dari Persia, ada Anusyirwan, dan Aristoteles yang ia nukil perkataannya di bukunya itu.

Dalam membaca sekilas dan hanya sebagian kecil itu, sy sulit memahaminya. Sy ingin membelinya, tapi harganya cukup mahal, hampir 300rb. Siapa yang mau membelikan untuk sy? Sekembali dari toko itu, sy penasaran, kemudian mencarinya di Internet, dan menemukan buku itu di Google Books.

Terus terang, ini bacaan kelas berat. Sy butuh membaca berulang kali untuk mengerti apa saja argumen-argumen yang sering ia sebut ketika membaca karya filusuf lain, seperti salah satu komentarnya terhadap tulisan-tulisan Ibnu Al Muqaffa’.

“Sayangnya, ia tidak melengkapinya dengan argumen-argumen, sebagaimana  yang kami lakukan. Ia hanya menyebutkannya secara retoris,” tulisnya. Bayangkan, satu buah komentar ini saja, sy butuh waktu untuk mengerti apa yang ia maksud dengan retoris lebih lama dibanding nulis sintaks SQL.

Terkait dengan era informasi saat ini, Ibnu Khaldun tampaknya sudah mengingatkan di kala jamannya saat itu, tentang bahaya khurafat.

Ia menukil, Al Mas’udi pernah menyebutkan tentang kota tembaga. Seluruh bangunan di kota itu terbuat dari tembaga dan tempatnya berada di padang pasir Sijilmasah. Dikisahkan, Musa bin Nushair menemukan kota ini dalam salah satu serangannya menuju Afrika barat. Kota ini tertutup pintu-pintunya. Orang yang mencoba memanjat pagarnya akan terjatuh ke dalamnya dan tak pernah kembali.

Menurut Ibnu Khaldun, ini adalah kisah khurafat yang mustahil adanya. Pasalnya, menurutnya, padang pasir Sijilmasah biasa dilalui oleh para pengendara dan para penunjuk jalan, tapi mereka tak pernah menceritakan cerita seperti itu.

Dari cerita kisah di atas, sy memahami bahwa khurafat itu suatu berita yang di dalamnya bercampur antara yang benar dan yang tidak benar. Orang-orang di jaman sekarang menyebutnya berita bohong atau hoax. Ibnu Khaldun mengatakan, para cendekiawan menilai suatu berita itu cacat ketika diketahui bahwa isinya mustahil terjadi dan tidak dapat ditakwil dengan sesuatu yang diterima akal.

Berbeda dengan Jarh wa Ta’dil. Menurutnya, metode Jarh wa Ta’dil hanya digunakan dalam berita-berita syariat karena kebanyakan berisi perintah-perintah yang wajib diamalkan. Dugaan kebenarannya sudah cukup. Jalan untuk mencapai dugaan kebenaran itu adalah percaya pada perawi yang adil dan teliti. Perlu digarisbawahi sekali lagi, perawi yang adil dan teliti.

Sedangkan terhadap berita-berita tentang kejadian atau peristiwa, maka kebenarannya dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan kenyataan yang ada. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menuliskan, suatu berita wajib diteliti tentang kemungkinannya. Menurutnya, cara seperti ini lebih penting dan lebih didahulukan daripada metode Jarh wa Ta’dil.

Mengapa? Karena pada Jarh wa Ta’dil, manfaat perintah sudah dapat diambil dari para perawi yang adil dan teliti. Sedangkan manfaat berita diambil dari para pembawa berita (perawi) yang adil dan dari segi kecocokan berita itu sendiri dengan kenyataan yang ada.

Ibnu Khaldun memberikan tips untuk membedakan suatu berita, antara yang benar dan yang batil. Ia mengatakan, kita hendaknya mengamati kehidupan sosial manusia yang menjadi unsur peradaban, lalu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang asli berasal darinya atau yang merupakan cabang darinya.

Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengingatkan, di antara sebab-sebab tersebarnya berita dusta adalah, pertama, selalu percaya pada para penukil berita. Untuk itulah, Ibnu Khaldun menyarankan untuk merefer ilmu Jarh wa Ta’dil.

Kedua, lalai dari tujuan. Seringkali para penukil tidak mengetahui maksud di balik sesuatu yang ia lihat atau ia dengar, lalu ia menukil berita itu dan disangkanya sendiri, diterjemahkan sendiri, disimpulkan sendiri, sehingga ia terjatuh dalam pemberitaan dusta.

Ketiga, menyangka benar, padahal tidak. Menurut Ibnu Khaldun, hal ini sering terjadi dan kebanyakannya disebabkan (terlalu) percaya pada para penukil.

Keempat, tidak tahu bagaimana cara mencocokkan keadaan yang sebenarnya dengan kenyataan atau fakta yang sudah terjadi. Hal itu, menurutnya, karena keadaan-keadaan dalam sebuah berita mungkin saja dimasuki oleh pemalsuan atau cerita yang dibuat-buat. Akibatnya, pembawa berita menyampaikannya sebagaimana yang telah ia dapatkan, padahal berita tersebut sudah dimodifikasi dengan cerita-cerita yang tidak benar.

Kelima, kebanyakan manusia suka mendekati kaum terhormat dan pejabat dengan cara menyanjung atau memuji mereka, serta menyebarkannya kepada banyak orang. Hal itu mengakibatkan berita-berita yang mereka sampaikan kepada manusia sudah tidak sesuai dengan kenyataan lagi. Sebab, adalah sudah menjadi tabiat manusia suka mendapatkan pujian, bernafsu mendapatkan dunia, serta hal-hal yang mengantarkan kepadanya jabatan dan kekayaan. Mereka jauh dari sifat-sifat yang luhur.

Keenam, sebab utama adalah tidak mengetahui karakter-karakter peradaban. Jika seorang pendengar mengetahui karakter suatu peristiwa atau kejadian dan keadaan-keadaan di dunia ini dan hukum-hukum pastinya, maka hal ini akan membantunya untuk meneliti suatu berita sehingga ia tahu antara berita dusta dan berita yang benar.

Hm... cukup panjang juga tulisan ini. Semoga manfaat dan barokah. Aamiin.