Kamis, Mei 31, 2007

100% Bebas Asap Rokok

World No Tobacco Day 2007

Kepada: pengelola tempat-tempat umum

Penelitian ilmiah tentang bahaya perokok pasif telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun. Tidak ada keraguan bahwa merokok secara pasif sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, menyebabkan kanker dan banyak penyakit pernafasan serta kardiovaskuler pada anak-anak serta orang dewasa, dan tidak jarang mempercepat kematian.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berkesimpulan bahwa asap rokok, sekecil apapun jumlahnya, tetaplah berbahaya. Rekomendasi WHO tentang hal ini mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok adalah dengan memberlakukan peraturan 100% bebas asap rokok bagi tempat-tempat umum.

Hak untuk mendapatkan udara bersih, bebas dari asap rokok adalah hak umat manusia.

Dengan demikian, kami meminta anda untuk melindungi kesehatan pegawai, pekerja dan masyarakat umum dengan cara menerapkan peraturan yang 100% melarang merokok di tempat-tempat umum. Kami percaya, langkah ini adalah langkah yang sangat penting untuk melindungi kesehatan kita dan anak-anak kita semua.

Tertanda,
suburanugerah

Selasa, Mei 29, 2007

Buruknya Listrik di Balikpapan

Senin kemarin, 28/05, aliran listrik di Balikpapan mengalami gangguan, padam hingga 24 jam, pemkot Balikpapan pun nampaknya tak berdaya. Tercatat mulai kemarin saat saya akan berangkat kerja hingga barusan menyala saat saya berangkat kerja hari ini. Tak habis pikir rasanya, kesal berkecamuk entah apa, yang jelas beberapa hal menjadi terhambat dan usaha keluarga dalam mengelola produksi es balok mandeg dan mengalami kerugian cukup besar. Sumber daya listrik tergantung penuh pasokan listrik PLN Wilayah Kalimantan Timur (Jangan masuk ke Buku Tamu, pasti rugi dech). Tentu saja akibatnya produksi terhambat dan pemasukan pun macet. Anehnya, tagihan listrik sering tidak mau kompromi melihat kondisi ini, maunya menang sendiri. Cukup sering petugas datang menagih dengan membawa peralatan untuk memutus kabel pasokan listrik.

Hal yang mungkin membuat saya bisa menerima kenyataan buruknya kondisi perlistrikan di Balikpapan adalah dengan melihat saudara-saudara kita di daerah bencana, seperti Lumpur Lapindo, gempa bumi Yogyakarta, Tsunami di Aceh dan musibah besar lainnya yang lebih berat cobaannya. Namun, apakah kondisi listrik yang dikelola PLN di Balikpapan ini sama dan layak disandingkan dengan musibah besar tersebut?

Sabtu, Mei 19, 2007

Ubuntu Feisty Fawn yang Laris


Tepat seminggu yang lalu, CD Ubuntu dan Kubuntu Feisty Fawn masing-masing 3 buah pesanan saya telah datang. Tapi karena datang di kantor, langsung amblas bak kacang goreng, Pass On It! Saya sendiri yang pesan malahan kebagian 1 buah CD Ubuntu. Malamnya, karena penasaran pingin tahu kira-kira ada perubahan yang significant dari Edgy Eft, saya coba install dengan VMware Server. Ah ... ternyata masih biasa saja ya, tak jauh beda dengan sebelumnya, Dapper Drake maupun Edgy Eft.

Kemarin waktu di Surabaya, ada saudara yang juga pingin tahu, ah ... kini saya tak punya lagi CD Feisty Fawn, tak apa, Feisty Fawn memang laris!

Antara Lumpur Lapindo, Jalan Tikus dan Pajak Jalanan

Foto diambil saat kembali Surabaya melewati jalan MLG - SBY Sebenarnya tidak ada hubungannya antara lumpur lapindo dengan perjalanan kami menuju Malang dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Malang Cyber City. Hanya saja, saya dibuat penasaran dengan kehebatan lumpur lapindo yang menyisakan penderitaan masyarakat sekitarnya. Ketika pesawat mendarat di Surabaya dan saya lihat jam tangan pukul 20:00 Wita, saya perkirakan bila naik bis, maka tiba di Malang bisa tengah malam. Otomatis kami akan kesulitan mendapatkan angkutan dan mencari penginapan. Untuk itu saya berinisiatif naik travel atau taksi agar tidak lama di perjalanan, tidak kelelahan dan juga fresh kondisi tubuh esok harinya dalam rangka suatu acara.

Taksi yang kami naiki dalam kondisi baik, nyaman, dan sopir tampak profesional, sehingga saya perkirakan saya bisa istirahat di dalam perjalanan. Tapi ternyata tidak bisa istirahat, karena begitu sampai di wilayah Sidoarjo di jalan yang tergenang air lumpur, taksi diharuskan memutar melewati jalan tikus. Apa? Jalan tikus? Saya tahunya istilah jalan tikus malah dari pak Abdul Latief Abadi saat bertemu di UPPTI Unibraw Malang. Jalan tikus, dari namanya ya kondisinya banyak kelokan-kelokan dan sempit, nah, di tiap-tiap kelokan bisa dipastikan ada "pajak" atau kata orang "pungli" yang akan menghadang. Pajaknya siapa? Ya yang memungut pajak, kalau orang Surabaya menyebutnya polisi cepek. Jadi, bila para sopir dari Surabaya menuju Malang atau akan melewati daerah ini tanpa ada masalah, maka dengan menyediakan uang pecahan minimal 500an rupiah dalam jumlah 100 buah untuk polisi cepek yang berada di hampir sepanjang jalan tikungan. Lho kok? Sayang sekali saya tidak sempat menghitung berapa kali sopir taksi membagikan uang receh, yang jelas, ia kehabisan banyak sekali uang receh, saya saja sempat menyumbang 500 rupiah satu-satunya yang saya punya saat itu, sedang rekan saya malah menyumbang 5000 rupiah habis juga.

Ada pertanyaan "Kenapa tidak usah dikasih saja?" atau katakan saja "Tak ada uang receh!" atau sesekali ingin memberi pelajaran "Nanti gue laporkan polisi!", kan beres? Setelah saya lihat memang tidak semudah itu, ada banyak kemungkinan bila melakukan seperti demikian. Selain ada banyak efek psikososial yang ditinggalkan musibah lumpur lapindo, mereka para polisi cepek ini juga dalam jumlah banyak yang berkuasa atas kelokan atau tikungan tertentu, bisa dikatakan mafianya lingkungan sekitar. Bila mereka tidak diberi, maka bisa dipastikan perjalanan akan terganggu, dan yang lebih membuat kesal adalah bila menolak permintaan mereka walaupun penolakan itu benar, maka penolakan itu biasanya tidak sepadan dengan akibatnya.

Bagaimana Anda bersikap bila menghadapi hal demikian seolah-olah mengalaminya sendiri?

Jumat, Mei 04, 2007

Tumben, ada Pelampung Keselamatan di Kapal Penyeberangan



Minggu lalu, saya melakukan perjalanan dari Balikpapan ke Banjarmasin melalui darat dengan menggunakan bis antar propinsi. Untuk dapat sampai di Banjarmasin sepertinya harus selalu melewati berbagai rintangan. Rintangan pertama yang harus dilalui adalah menyeberangi teluk Balikpapan menuju kabupaten Penajam Pasir Utara, yang cukup jauh apabila harus memutar melewati darat. Bila dipaksakan memutar lewat jalur darat, salah-salah jalan daratnya tidak tersedia, akibatnya bisa jadi malah tambah jauh saja.

Lewat waktu maghrib, saya sudah berada di kapal dan sambil menunggu giliran sholat maghrib, saya duduk dan ngobrol bareng teman-teman yang ikut bersama dalam satu tujuan. Tiba-tiba perhatian tertuju di depan deretan tempat duduk, betapa tidak, seorang pria beraksi layaknya pramugari yang memeragakan cara-cara mengenakan pelampung penyelamat. Bedanya, bila yang di pesawat diperagakan oleh beberapa wanita cantik dan seksi, sedang di kapal penyeberangan ini yang memeragakan hanya seorang pria paruh baya, nggak seksi lagi. Pria ini begitu lancar menjelaskan cara pelampung penyelamat itu bekerja, cara menyalakan lampu, cara meniup peluit, hingga cara kondisi badan dan tangan bila ikut tenggelam bersama pusaran kapal. Tak ketinggalan pula, untuk yang belum pernah mencoba pelampung penyelamat, ditawarkan untuk dicoba saat itu juga tanpa perlu malu-malu. Karena saya termasuk wong ndeso, saya pun mencobanya. Setelah merasakan dan melihat-lihat, baru tahu bedanya. Bedanya dengan yang di pesawat, pelampung ini tanpa perlu ditiup, karena sudah berisi busa ringan. Harga sepertinya lebih murah dan pemakaiannya pun lebih simpel.

Setelah clingak-clinguk kebelakang, ternyata yang ndeso cuma saya ... hehehe ... dari semua penumpang yang ada, hanya saya yang mencobanya. Tapi nggak apa, disinilah kelebihannya dibanding bila pramugari yang memeragakan, karena sepanjang sepengetahuan saya, tak pernah terlihat seorang penumpang pun yang mencobanya. Atau bila penumpang memerhatikan, paling yang diperhatikan adalah kemolekan tubuh pramugari itu, atau kecantikannya, atau bibirnya, atau rambutnya ... banyak dech yang diperhatikan.

Pada peragaan terakhir, pria itu menunjukkan letak pelampung penyelamat itu disimpan dalam satu kotak lemari, dengan jumlah 100 buah untuk dewasa, dan 15 buah untuk anak-anak. Jumlah tersebut sepertinya kurang bila dibandingkan dengan jumlah penumpang yang ada saat itu. Menurut saya, idealnya tiap-tiap kapal penyeberangan menyediakan 400 - 500 buah pelampung penyelamat layak pakai tiap kali beroperasi..

Kembali ke pria langka itu, anehnya, setelah selesai memeragakan pelampung penyelamat, pria itu melanjutkannya dengan pisau kupas sambil memeragakan cara mengupas singkong, timun, dan cara membuat keripik singkong, lho kok? Ternyata ... menyelam sambil minum air ya, kreatif, ok dech ... saya beli pisau kupasnya 1 biji, seep! Sayang, orang kreatif seperti ini memang sangat langka. Saya nggak tahu, apakah di kapal-kapal penyeberangan yang lain di seluruh Indonesia juga diperagakan cara-cara menyelamatkan diri, mengantisipasi bila terjadi kecelakaan kapal tenggelam? Bila di pesawat terbang dilakukan, kenapa tidak di kapal laut?