Senin, Juli 18, 2011

Tak Benar, Membiarkan Anak Bekerja di Usia Sekolah

Masih segar di ingatan, beberapa minggu menjelang tahun ajaran baru lalu berita media massa nasional mengangkat cerita mengenai anak-anak yang putus atau tidak sekolah dan memilih bekerja, seperti membajak sawah, berjualan, hingga isu politisi menelantarkan anak. Beberapa alasan mengapa tidak sekolah pun diangkat, dan alasan yang paling ditonjolkan adalah tidak ada biaya atau masalah kemiskinan. Minggu berganti, isu berita pun berganti, topik berita tentang anak terlantar dan anak bekerja hilang bagai disapu angin.

Serasa datang angin segar, Minggu ini saya membaca berita bahwa Walikota Manado bergerak mencari anak-anak yang putus sekolah dan yang bekerja untuk dikembalikan ke sekolah. Dikatakan, sebagai tulang punggung masa depan bangsa, anak-anak tak boleh dibiarkan bekerja, mereka harus bersekolah dan menikmati kesejahteraan, membiarkannya bekerja di usia sekolah adalah hal yang sama sekali tidak benar.

Eksploitasi Saat ini

Eksploitasi ekonomi yang memanfaatkan anak saat ini semakin canggih, salah satunya adalah sering kita jumpai di dunia industri hiburan televisi. Jika di jalanan anak-anak dibuat mengiba, di televisi justru dibuat menghibur. Masa bermain anak-anak yang menghibur, lucu, dan menyenangkan, itu berarti ada kesempatan yang bisa diambil dan menjadi nilai ekonomi (oportuniti) orang dewasa. Acara kontes-kontesan, sinetron, hingga hiburan kejar tayang yang melibatkan anak-anak menjadi komoditas industri hiburan. Ambil saja contoh beberapa anak yang kini menjadi komoditas hiburan televisi sebagai artis cilik. Orang tua kadang secara tidak sadar ikut mendorong anak-anak terlibat di dalamnya dengan alasan 'asal tidak merugikan ya gapapa donk', toh di acara tersebut anak-anak bermain dan sangat menyukainya, anak-anak juga tetap sekolah, lalu apa salahnya? Apalagi dapat duit bisa ditabung untuk bekal dewasa nanti, malah untung, kan?

Hak dan Mental Anak dalam Hukum Negara

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi atau hak dasar sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut [1]. Hak dasar anak diakui secara universal, dan beberapa bentuk hak dasar anak ada1ah setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi [5].

Pasal 28B (ayat 2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, ini berarti bahwa anak mempunyai hak konstitusional dan negara wajib menjamin serta melindungi pemenuhan hak anak yang merupakan hak asasi manusia (HAM).

Edaran elektronik Konsep dan Pengertian Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) yang diterbitkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan membuat kategori hak dasar anak menjadi 4 bagian antara lain:
  1. Hak Kelangsungan Hidup, seperti: hak hidup, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, hak untuk menikmati suatu kebudayaan dan agama, hak atas standar kehidupan yang memadai, hak atas nama, identitas dan kewarganegaraan.
  2. Hak Tumbuh Kembang, seperti: hak memperoleh pendidikan, hak untuk istirahat dan waktu luang, hak akses memperoleh perawatan dan dukungan orang tua.
  3. Hak Perlindungan, seperti: hak untuk dilindungi dari perlakuan salah dan penelantaran, hak untuk mendapatkan perawatan khusus bagi anak cacat/disabel, hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk dilindungi dari eksploitasi seksual komersial, hak untuk tidak menjadi korban child trafficking, hak untuk selamat dalam situasi darurat atau keadaaan sulit seperti dalam konflik bersenjata atau anak tanpa keluarga, hak untuk memperoleh bantuan hukum dan proses, peradilan yang memadai, hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif, hak dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan pekerjaan berbahaya.
  4. Hak Partisipasi, seperti: hak untuk menyampaikan pendapat, hak untuk kebebasan berserikat, hak atas kebebasan berekspresi, hak untuk memperoleh informasi, hak atas kebebasan pribadi, hak untuk kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama.

Pada Lembaran Tahun 2000 Nomor 30 tentang penjelasan atas Konvensi ILO No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak [1], saya menemukan informasi menarik tentang mental anak. Konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan otak, mengganggu pendidikan, serta mengganggu perkembangan fisik dan mental anak.

Berkait dengan mental anak, istilah mental dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti berkaitan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga, atau dalam bentuk nomina berarti batin dan watak atau karakter atau kepribadian. Karakter dasar anak adalah seperti memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi, tahap tumbuh kembang, peniru yang ulung (imitator), dan rentan dieksploitasi (vulnerable). Pembentukan karakter ke arah yang baik membutuhkan strategi yang mendorong, mendampingi, dan membantu anak untuk melakukan pencapaian tumbuh kembang yang layak dan optimal sebagai makhluk individu dan sosial.

Menurut Prof. Suyanto Ph.D, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat [6].

Usia Minimum Bekerja

Pada pasal 2 Konvensi tersebut, istilah "anak" berarti semua orang yang berusia di bawah 18 tahun [1][5]. Pada pasal 2 ayat (1) Konvensi, disebutkan Indonesia melampirkan Pernyataan (Declaration) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Republik Indonesia adalah 15 tahun. Yang menarik, angka 15 tahun ini tidak serta merta mutlak, tetapi ada pertimbangan-pertimbangan lain, misalnya diperbolehkan antara 13-15 tahun untuk pekerjaan yang ringan atau tidak beresiko (Pasal 7 Konvensi), dan minimum 18 tahun untuk pekerjaan beresiko (Pasal 3 Konvensi). Resiko disini kurang lebih adalah dapat membahayakan bagi kesehatan, perkembangan fisik dan mental anak, mengganggu kehadiran anak mengikuti pelajaran sekolah, mengganggu mengikuti orientasi kejuruan atau program pelatihan di sekolah, atau mengganggu kemampuan anak dalam menerima manfaat dari pelajaran sekolah [1].

Jika merujuk usia wajib belajar di Indonesia adalah 7-15 tahun [2][3], maka penggunaan Pasal 7 Konvensi tersebut menurut saya kurang aman atau sulit untuk bebas dari resiko-resiko di atas, bahkan rentan penyalahgunaan (abuse) baik yang dilakukan oleh industri hingga orang tua atau wali. Adapun fakir miskin dan anak-anak terlantar (yang kesulitan wajib belajar) dipelihara oleh negara [4]. Ini bukan berarti masyarakat lepas tangan tidak membantu, tetapi mencoba mengingatkan penguasa dan negara agar tidak lupa akan kewajiban hukum yang harus dipenuhi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usia minimum bekerja adalah sekurang-kurangnya 18 tahun. Apabila kurang dari 18 tahun, anak tidak berkewajiban bekerja dan harus mendapatkan pendidikan atau sekolah. Kewajiban untuk menanggung biaya sekolah anak merupakan tugas negara tanpa ada diskriminasi. Mengapa harus negara? Karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan [5]. Selain itu, negara telah mengeluarkan produk hukumnya sendiri bahwa wajib belajar dijamin oleh negara [2][3].

Usia Minimum Sekolah

Usia 6 tahun dapat mengikuti wajib belajar atau sekolah pada jalur formal apabila anak dipandang siap baik secara fisik maupun mental. Dari sisi sekolah pun juga mempertimbangkan selama kapasitas kelas atau daya tampung masih memungkinkan [2][3]. Ini berarti yang menjadi prioritas wajib belajar adalah usia 7 tahun, dan sering dijadikan sebagai dasar atau pedoman penerimaan siswa baru (PSB) pada tahun ajaran baru seperti saat ini [2][3].

Adapun mulai usia 0 – 6 tahun, metode pendidikan yang diberikan adalah berupa rangsangan pendidikan yang ditujukan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki tahap usia berikutnya [3]. Tumbuh kembang ini adalah proses yang terjadi baik pada fisik maupun mental sesuai jenjang usianya. Materi dan metode rangsangan pendidikan pun disesuaikan dengan tingkat usianya, dan tentu saja melibatkan ahli atau pakar psikologi pendidikan anak usia dini. Sebaliknya, penggunaan materi dan metode yang tidak tepat justru akan merugikan anak itu sendiri. Tidak adil rasanya memperlakukan anak sama seperti halnya orang dewasa.

Kesimpulan

Yang disebut anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun. Usia minimum bekerja adalah 18 tahun, baik pekerjaan beresiko atau tidak. Yang dimaksud resiko adalah dapat membahayakan bagi kesehatan, perkembangan fisik dan mental anak, mengganggu kehadiran anak mengikuti pelajaran sekolah, mengganggu mengikuti orientasi kejuruan atau program pelatihan di sekolah, atau mengganggu kemampuan anak dalam menerima manfaat dari pelajaran sekolah. Oleh karena itu, patut diapresiasi apa yang dilakukan oleh Walikota Manado untuk mencari dan mendata semua anak putus sekolah yang telah bekerja untuk dikembalikan ke sekolah, meski sebenarnya hal itu sudah menjadi kewajiban pemerintah sesuai peraturan pemerintah dan perundang-undangan. Langkah sang walikota layak dan semestinya diikuti pemerintah daerah lainnya.

Referensi:
[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 tentang Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Organization (ILO) Convention No. 182 Concerning The Prohibition And Immediate Action For The Elimination Of The Worst Forms Of Child Labour atau Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan Dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak)
[2] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
[3] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[4] Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1
[5] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
[6] Prof. Suyanto Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter
[7] Konsep dan Pengertian Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA), Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan

Penyangkalan (Disclaimer)
Tulisan ini disusun berdasarkan referensi yang diterjemahkan menurut sudut pandang penulis sebagai orang awam. Kekurangan pengetahuan mengenai hukum dan perundangan sangat rentan mengingat tulisan ini hanya untuk pembelajaran menulis dengan latar belakang penulis bukan dari bidang hukum maupun terkait. Penulis tidak bertanggung jawab bila tulisan ini digunakan sebagai pustaka atau referensi karya ilmiah, silakan pelajari referensi yang penulis gunakan di sini maupun referensi lainnya. Penulis tidak ada hubungan apapun dengan subyek yang disebutkan di tulisan ini. Apabila tulisan ini digunakan sebagai sumber berita silakan kontak penulis.

2 komentar:

  1. termasuk keputusan orang tua yang memaksakan anaknya untuk ikut Les Kesana-Kemari, yang akhirnya menghilangkan kesempatan mereka untuk bermain. Kasihan mereka, sejak pagi sampai sore otaknya dipaksa oleh orangtuanya untuk belajar secara kontekstual.

    BalasHapus
  2. es atau bimbingan belajar esensinya adalah untuk membantu anak tumbuh kembang agar mudah menyerap materi pelajaran sekolah, bisa dikatakan bimbingan belajar termasuk bagian dari hak untuk memperoleh pendidikan (yang baik).
    meski demikian, apapun kontennya, entah les/bimbel atau bermain, bila sudah terjadi pemaksaan dan penghilangan hak-hak lainnya, misal hak untuk istirahat dan waktu luang, maka jelas itu tidak benar, cmiiw.

    BalasHapus