Mungkin ini cerita menarik berdasarkan kejadian yang saya alami beberapa tahun yang lalu, saat saya masih belajar di salah satu perguruan tinggi biasa di kota Malang, mengambil program studi sarjana. Dalam sebulan 1-2 kali saya pulang ke rumah orang tua di Surabaya, biasalah sumber dana waktu itu masih bergantung sama orang tua.
Jika sudah tiba dirumah orang tua, rasa malas kambuhan sering menempel lekat di badan, beres-beres jadi rutinitas saat itu. Suatu sore selepas sholat maghrib dari masjid depan rumah, saya sempatkan belajar membantu kakak mereparasi perangkat elektronik yang tengah diperbaiki, maklumlah kakak saya waktu itu punya usaha sampingan service elektronik kecil-kecilan dalam rumah dan belum berkembang seperti saat ini.
Singkat cerita, ditengah asik masyuk mengotak-atik perangkat elektronik, terdengar ribut-ribut di jalan depan rumah “Awas! Awas! Mau meledak!!” Nggak tahu, saya malah asik sibuk sendiri, satu persatu orang rumah keluar melihat ada apa gerangan ribut-ribut itu. Karena Ibu saya juga tergopoh-gopoh sambil mengenakan mukena keluar rumah, saya jadi terpancing juga untuk melihat, oh-la-la … ternyata rombong bakso terbakar, kompornya meledak, sehingga api berkobar melahap sebagian rombong yang entahlah ditinggal dan dibiarkan abang tukang baksonya. Yang saya ingat waktu itu, orang-orang kampung sangat banyak dan sama menonton peristiwa ini, entahlah, tiba-tiba saya bergegas mengambil timba yang tergeletak diatas lubang pdam rumah dan mengambil air, berlari mendekat kearah rombong yang agak jauh didepan rumah tetangga dan byur! ”Awas! Meledak!” komentar yang saya dengar dari penonton, cuek saja dan byur! Hingga 3x saya ambil air dan menyiramkannya ke arah rombong ini, sial, siraman air nggak mengenai apinya. Melihat saya kesulitan mematikan api, tiba-tiba saya mendengar kekesalan penonton yang kesal banget “Alaaahh … nggak bisa kamu itu!!” saat saya menoleh kearah suara itu ternyata teman lama waktu kecil yang hingga saat inipun saya masih mengenal wajahnya, ah, cuek saja. Saat itulah, tetangga yang ketempatan didepan rumahnya ada rombong terbakar itu ikut membantu menyiram air sedikit demi sedikit hingga merata dan padam. Saya lihat rombong bakso ini hanya terbakar setengah bagian saja, syukurlah masih ada sebagian dan nggak hangus semua.
Selesai api padam, berangsur-angsur orang-orang kampung meninggalkan arena tontonan gratis, setelah itu yang tersisa adalah kesedihan abang tukang bakso menaksir kerugian yang dideritanya.
Dari cerita ini bisa Kita petik hikmah apa yang bisa Kita ambil dan Kita jadikan pelajaran berharga. Peristiwa itu adalah masalah yang biasa terjadi sehari-hari didepan Kita, baik di lingkungan Kita, tempat kerja, tempat tinggal, hingga pada skala nasional peristiwa demi peristiwa menjadi bagian yang mengisi sederetan waktu bumi selama masih berputar. Yang Kita lakukan adalah menangani dan mematikan api masalah tersebut dengan benar, mencegahnya merembet kebagian yang lain yang dapat meluluhlantakkan harapan dan cita-cita mulia. Tinggal aksi konkrit Kita bagaimana caranya mewujudkan harapan itu, apakah hanya menjadi penonton yang terus tersenyum dan tertawa, apakah hanya beropini mengurai benang retorika yang terlalu lelah dipahami dan cenderung menyalahkan aksi tindakan positif orang lain, lebih banyak mencari-cari kesalahan hanya untuk menutupi kekurangan diri sendiri, atau sebaliknya memberikan energi positif membawa pengaruh dan kekuatan menuju pencapaian harapan yang mulia, semuanya itu akan kembali pada diri Anda sendiri.