Sabtu sore pekan lalu sy kembali mengajak anak-anak
jalan-jalan ke toko buku. Sesampainya disana, langkah sy terhenti ketika melihat
ada tumpukan buku hijau muda berjudul Mukadimah, karya Ibnu Khaldun. Bukunya
sangat tebal, kira-kira dua rim atau seribuan halaman.
Saat membuka pertama kali, pandangan sy langsung tertuju pada
kata Jarh wa Ta’dil. Apa itu? Pandangan sy kembali naik turun, scroll atas,
scroll bawah. Di bagian atas ada kata khurafat. Apa itu? Agak ke bawah, terus
meluncur dari paragraf satu ke paragraf berikutnya, ada filusuf Mobedzan dari
Persia, ada Anusyirwan, dan Aristoteles yang ia nukil perkataannya di bukunya
itu.
Dalam membaca sekilas dan hanya sebagian kecil itu, sy sulit
memahaminya. Sy ingin membelinya, tapi harganya cukup mahal, hampir 300rb. Siapa
yang mau membelikan untuk sy? Sekembali dari toko itu, sy penasaran, kemudian mencarinya
di Internet, dan menemukan buku itu di Google Books.
Terus terang, ini bacaan kelas berat. Sy butuh membaca berulang
kali untuk mengerti apa saja argumen-argumen yang sering ia sebut ketika
membaca karya filusuf lain, seperti salah satu komentarnya terhadap tulisan-tulisan
Ibnu Al Muqaffa’.
“Sayangnya, ia tidak melengkapinya dengan argumen-argumen,
sebagaimana yang kami lakukan. Ia hanya
menyebutkannya secara retoris,” tulisnya. Bayangkan, satu buah komentar ini
saja, sy butuh waktu untuk mengerti apa yang ia maksud dengan retoris lebih
lama dibanding nulis sintaks SQL.
Terkait dengan era informasi saat ini, Ibnu Khaldun
tampaknya sudah mengingatkan di kala jamannya saat itu, tentang bahaya khurafat.
Ia menukil, Al Mas’udi pernah menyebutkan tentang kota
tembaga. Seluruh bangunan di kota itu terbuat dari tembaga dan tempatnya berada
di padang pasir Sijilmasah. Dikisahkan, Musa bin Nushair menemukan kota ini
dalam salah satu serangannya menuju Afrika barat. Kota ini tertutup
pintu-pintunya. Orang yang mencoba memanjat pagarnya akan terjatuh ke dalamnya
dan tak pernah kembali.
Menurut Ibnu Khaldun, ini adalah kisah khurafat yang
mustahil adanya. Pasalnya, menurutnya, padang pasir Sijilmasah biasa dilalui
oleh para pengendara dan para penunjuk jalan, tapi mereka tak pernah menceritakan
cerita seperti itu.
Dari cerita kisah di atas, sy memahami bahwa khurafat itu
suatu berita yang di dalamnya bercampur antara yang benar dan yang tidak benar.
Orang-orang di jaman sekarang menyebutnya berita bohong atau hoax. Ibnu Khaldun
mengatakan, para cendekiawan menilai suatu berita itu cacat ketika diketahui
bahwa isinya mustahil terjadi dan tidak dapat ditakwil dengan sesuatu yang
diterima akal.
Berbeda dengan Jarh wa Ta’dil. Menurutnya, metode Jarh wa Ta’dil
hanya digunakan dalam berita-berita syariat karena kebanyakan berisi
perintah-perintah yang wajib diamalkan. Dugaan kebenarannya sudah cukup. Jalan untuk
mencapai dugaan kebenaran itu adalah percaya pada perawi yang adil dan teliti. Perlu
digarisbawahi sekali lagi, perawi yang adil dan teliti.
Sedangkan terhadap berita-berita tentang kejadian atau
peristiwa, maka kebenarannya dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan kenyataan
yang ada. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menuliskan, suatu berita wajib diteliti
tentang kemungkinannya. Menurutnya, cara seperti ini lebih penting dan lebih
didahulukan daripada metode Jarh wa Ta’dil.
Mengapa? Karena pada Jarh wa Ta’dil, manfaat perintah sudah
dapat diambil dari para perawi yang adil dan teliti. Sedangkan manfaat berita
diambil dari para pembawa berita (perawi) yang adil dan dari segi kecocokan
berita itu sendiri dengan kenyataan yang ada.
Ibnu Khaldun memberikan tips untuk membedakan suatu berita, antara
yang benar dan yang batil. Ia mengatakan, kita hendaknya mengamati kehidupan
sosial manusia yang menjadi unsur peradaban, lalu mengidentifikasi
keadaan-keadaan yang asli berasal darinya atau yang merupakan cabang darinya.
Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengingatkan, di antara
sebab-sebab tersebarnya berita dusta adalah, pertama, selalu percaya pada para
penukil berita. Untuk itulah, Ibnu Khaldun menyarankan untuk merefer ilmu Jarh
wa Ta’dil.
Kedua, lalai dari tujuan. Seringkali para penukil tidak
mengetahui maksud di balik sesuatu yang ia lihat atau ia dengar, lalu ia
menukil berita itu dan disangkanya sendiri, diterjemahkan sendiri, disimpulkan
sendiri, sehingga ia terjatuh dalam pemberitaan dusta.
Ketiga, menyangka benar, padahal tidak. Menurut Ibnu
Khaldun, hal ini sering terjadi dan kebanyakannya disebabkan (terlalu) percaya
pada para penukil.
Keempat, tidak tahu bagaimana cara mencocokkan keadaan yang
sebenarnya dengan kenyataan atau fakta yang sudah terjadi. Hal itu, menurutnya,
karena keadaan-keadaan dalam sebuah berita mungkin saja dimasuki oleh pemalsuan
atau cerita yang dibuat-buat. Akibatnya, pembawa berita menyampaikannya
sebagaimana yang telah ia dapatkan, padahal berita tersebut sudah dimodifikasi
dengan cerita-cerita yang tidak benar.
Kelima, kebanyakan manusia suka mendekati kaum terhormat dan
pejabat dengan cara menyanjung atau memuji mereka, serta menyebarkannya kepada
banyak orang. Hal itu mengakibatkan berita-berita yang mereka sampaikan kepada
manusia sudah tidak sesuai dengan kenyataan lagi. Sebab, adalah sudah menjadi
tabiat manusia suka mendapatkan pujian, bernafsu mendapatkan dunia, serta
hal-hal yang mengantarkan kepadanya jabatan dan kekayaan. Mereka jauh dari
sifat-sifat yang luhur.
Keenam, sebab utama adalah tidak mengetahui
karakter-karakter peradaban. Jika seorang pendengar mengetahui karakter suatu
peristiwa atau kejadian dan keadaan-keadaan di dunia ini dan hukum-hukum
pastinya, maka hal ini akan membantunya untuk meneliti suatu berita sehingga ia
tahu antara berita dusta dan berita yang benar.
Hm... cukup panjang juga tulisan ini. Semoga manfaat dan
barokah. Aamiin.