Kamis, Desember 15, 2005

Dialog Publik apa Dialog Opportunis?

Pagi ini, media koran daerah Kalimantan Timur, Kaltim Post, group Jawa Pos ngadain Dialog Publik bertema Reinventing & Rethinking Balikpapan. Melihat judulnya dan maksudnya, sepertinya ini menarik, apalagi pembicara yang nggak asing dan melekat dikepala sejak kecil, Pak Dahlan Iskan. Namun, biasanya untuk ikut tentu biayanya nggak bisa dianggap kecil untuk skala orang kecil seperti saya ini. Nah, kebetulan kantor diberi beberapa undangan gratis bagi akademisi, salah satunya saya kebagian.

Hujan rintik-rintik nggak menyurutkan langkah saya untuk datang di acara ini, karena terus terang, saya kagum dengan Pak Dahlan sebagai jurnalis senior, ya, saya ingin belajar darinya. Namun sesampai disana, seperti ada gap yang harus saya lalui, saat menyerahkan undangan dan mengisi buku tamu, saya dimintai kartu nama oleh panitia dengan muka kurang simpatik bagi seorang penerima tamu, sayang, saya tidak membawa kartu nama, karena memang saya bukan pebisnis, saya adalah blogger he…he… betapa kagetnya saya, “Tulis disini!” perintahnya sambil menunjuk kertas sobekan saya dipaksa menulis nama saya diatas selembar kertas undangan yang telah disobek itu.
Dengan sabar saya tulis saja nama apa adanya, dan … kertas itu dimasukkan dalam gelas kaca bersama kartu nama kartu nama yang lain. Padahal saya telah menulisnya di buku tamu, masih kurang lengkap juga ya? Hmm…

Melihat demikian, kalo’ ini adalah dialog publik, kenapa harus menyerahkan dan memaksa undangan menyerahkan kartu nama? Jika demikian mestinya di kartu undangan dicantumkan “Bagi undangan WAJIB bawa kartu nama” sehingga kalo hanya itu saya bisa persiapkan sebelumnya.

Kebetulan sang penggagas Kaltim Post menyediakan korannya gratis bagi peserta, saya baca lagi iklan itu dan saya tambah nggak semangat mengikuti dialog ini, sebab Pak Dahlan tiba-tiba di-replace dengan nama orang lain. Ahh… pulang saja, nggak level.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar