Sabtu, Mei 19, 2007

Antara Lumpur Lapindo, Jalan Tikus dan Pajak Jalanan

Foto diambil saat kembali Surabaya melewati jalan MLG - SBY Sebenarnya tidak ada hubungannya antara lumpur lapindo dengan perjalanan kami menuju Malang dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Malang Cyber City. Hanya saja, saya dibuat penasaran dengan kehebatan lumpur lapindo yang menyisakan penderitaan masyarakat sekitarnya. Ketika pesawat mendarat di Surabaya dan saya lihat jam tangan pukul 20:00 Wita, saya perkirakan bila naik bis, maka tiba di Malang bisa tengah malam. Otomatis kami akan kesulitan mendapatkan angkutan dan mencari penginapan. Untuk itu saya berinisiatif naik travel atau taksi agar tidak lama di perjalanan, tidak kelelahan dan juga fresh kondisi tubuh esok harinya dalam rangka suatu acara.

Taksi yang kami naiki dalam kondisi baik, nyaman, dan sopir tampak profesional, sehingga saya perkirakan saya bisa istirahat di dalam perjalanan. Tapi ternyata tidak bisa istirahat, karena begitu sampai di wilayah Sidoarjo di jalan yang tergenang air lumpur, taksi diharuskan memutar melewati jalan tikus. Apa? Jalan tikus? Saya tahunya istilah jalan tikus malah dari pak Abdul Latief Abadi saat bertemu di UPPTI Unibraw Malang. Jalan tikus, dari namanya ya kondisinya banyak kelokan-kelokan dan sempit, nah, di tiap-tiap kelokan bisa dipastikan ada "pajak" atau kata orang "pungli" yang akan menghadang. Pajaknya siapa? Ya yang memungut pajak, kalau orang Surabaya menyebutnya polisi cepek. Jadi, bila para sopir dari Surabaya menuju Malang atau akan melewati daerah ini tanpa ada masalah, maka dengan menyediakan uang pecahan minimal 500an rupiah dalam jumlah 100 buah untuk polisi cepek yang berada di hampir sepanjang jalan tikungan. Lho kok? Sayang sekali saya tidak sempat menghitung berapa kali sopir taksi membagikan uang receh, yang jelas, ia kehabisan banyak sekali uang receh, saya saja sempat menyumbang 500 rupiah satu-satunya yang saya punya saat itu, sedang rekan saya malah menyumbang 5000 rupiah habis juga.

Ada pertanyaan "Kenapa tidak usah dikasih saja?" atau katakan saja "Tak ada uang receh!" atau sesekali ingin memberi pelajaran "Nanti gue laporkan polisi!", kan beres? Setelah saya lihat memang tidak semudah itu, ada banyak kemungkinan bila melakukan seperti demikian. Selain ada banyak efek psikososial yang ditinggalkan musibah lumpur lapindo, mereka para polisi cepek ini juga dalam jumlah banyak yang berkuasa atas kelokan atau tikungan tertentu, bisa dikatakan mafianya lingkungan sekitar. Bila mereka tidak diberi, maka bisa dipastikan perjalanan akan terganggu, dan yang lebih membuat kesal adalah bila menolak permintaan mereka walaupun penolakan itu benar, maka penolakan itu biasanya tidak sepadan dengan akibatnya.

Bagaimana Anda bersikap bila menghadapi hal demikian seolah-olah mengalaminya sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar