Kamis, Agustus 21, 2008

Social Behavior, Murah, Maag dan Ramadhan

Ini hanya bagian kecil cerita bersosial di Jogja, dimana saya selalu heran dan salah tingkah dengan adat dan budaya daerah, seperti ketika mengobrol dengan orang yang termasuk sepuh. Budaya Jawa, terutama daerah Surakarta dan Ngayogyakarta terkenal sangat halus bahasa pergaulannya, selalu menggunakan logat Jawa kromo inggil, bahasa yang jadi mata pelajaran paling menakutkan ketika saya masih sekolah dasar. Akibatnya, kini saya selalu salah tingkah saat berbincang dengan orang-orang “halus” ini, misalnya ketika berbicara dengan menunjuk sesuatu dengan jari telunjuk, maka orang-orang “halus” ini malah bertanya kembali seolah-olah tidak jelas mana sesuatu yang ditunjuk, padahal jelas-jelas yang ditunjuk itu di depan mata. Tapi coba lipat 4 jari telunjuk dan gunakan jempol kanan --ibu jari-- untuk menunjuk dengan arah telapak menghadap ke atas, maka itu sudah cukup sopan sebagai tanda menunjuk sesuatu, walaupun yang ditunjuk itu saaa...ngat jauh, bahkan tidak terlihat sekalipun.

Yang paling sering adalah ketika makan di warung, selesai makan tentu terakhir adalah membayar, “Tadi makan nasi tahu telor, teh hangat, tambahnya krupuk emping satu, berapa?” Sambil komat-kamit penjual menghitung, “Lima ribu lima ratus”. Hmm... murah ya, sambil menyerahkan uang lebih. Karena rasanya terlalu murah sering saya kira penjual salah menghitung, konyolnya saya ulang kembali rincian makan tadi. Maka di sinilah suara agak keras si penjual dengan merinci satu persatu harga masing-masing komponen segala macam itu. Agar tidak salah paham, saya katakan “Murah...” datar sambil mangut-mangut. Sing ati-ati karo wong Jowo tole, weleh...

Betul murah kah? Iya betul, di jaman ekonomi sulit sekarang ini harga segitu murah sekali bila dilihat kualitas dan kuantitasnya, bahkan ada yang lebih murah lagi, dan itu sering saya mengalami salah paham gara-gara sok ndeso makan di warung. Karena banyak salah paham itu, akhirnya jadi sungkan, ewuh pakewuh untuk datang lagi, padahal itu warung terdekat. Maka saya keluar agak jauh lagi dari rumah, mencari nasi padang, lotek, soto ayam, soto daging, soto kudus, sayur bayam, sayur lodeh, sop, telor bali, ceker ayam, sate ati, wah... lebih banyak variasinya. Dan semua itu termasuk murah dan terjangkau menurut saya. Coba bandingkan, adakah seporsi soto ayam seharga Rp 2.500? Nasi padang, sepotong dadar telor ayam pedas tebal, sepotong tempe, tambah teh hangat, semuanya Rp 5.500? Soto daging sapi Rp 4.000? Tapi jangan dibandingkan dengan jaman sebelum krisis moneter 10 tahun lalu, ketika seporsi soto ayam hanya 250 - 500 perak, seliter bensin premium 450 perak, dan sebulan biaya hidup anak kost tak lebih dari 100 ribu, karena kini semuanya naik lebih dari 10x lipatnya.

Untuk berhemat dan agar tidak keluar rumah, kadang mencoba memasak sendiri, tapi ternyata cukup repot dan wasting time, jadi cukup menanak nasi di hari-hari libur saja. Kendati demikian, pola makan saya sering tidak teratur, hampir setiap hari si sulung, Nasywa, di telepon selalu mengingatkan “Ayah... ayah mam apa sih?”, “Ayah sudah mam apa belom?”,” Ayah ini sudah dibilangin jangan makan indomie terus yah... ayah bisa mam sama telor, ayam goreng, soto, yah... blablabla...” Saya yang mendengarnya hanya tersenyum --plengeh-- saja, tapi... ayahnya ini sangat bandel juga sih, sudah sering diingatkan... eh, akhirnya kini maag-nya kambuh lagi. Nah loh!

Dan kemarin, saya mencoba saran ibunya anak-anak, langganan katering untuk puasa ramadhan, agar lebih nyaman dan mudah-mudahan lebih tertib... :-)

2 komentar:

  1. nyuwun sewu mas Subur,
    nderek tepang, keng asmo Untung,..
    nate mampir Balikpapan pinanggih pak Budi, Pak Rizqi, mas Lucky, kalian rencang sedoyo,
    menawi enggar ing penggalih sumonggo nuweni blog ajaran kulo wonten kang-bejo.blogspot.com.
    nuwun

    BalasHapus
  2. inggih pak Untung sami-sami... sakmeniko sampun nuweni blog-e kangbejo, ndilalah sampun siuman nggih... alhamdulillah... :D

    BalasHapus