Jumat, Oktober 15, 2021

Kuliah Aplikasi Sosial Media: Content Creator

Kuliah materi Aplikasi Sosial Media hari ini terkait dengan Content Creator. Ada banyak jenis Content pada Sosial Media baik berupa naskah teks, suara, gambar, video, maupun podcast.

Content pada pembahasan kali ini adalah seputar membuat naskah pada Media Sosial. Pada dasarnya sama seperti kita berkomunikasi secara tatap muka, kita akan melihat terlebih dahulu siapa yang akan diajak bicara, ada di mana, dan kapan kita berbicara.

Istilah lain, bagi orang Jawa, hal itu dikenal dengan istilah Papan Empan Adepan, yakni melihat atau mengetahui ada dimana kita berbicara, ada dimana, dan kepada siapa kita berbicara. Jika memahami konteks ini, maka kita akan mudah untuk berkomunikasi dengan baik dengan  mengurangi kesalahpahaman antar komunikan.  

Selasa, September 05, 2017

Khurafat, Jarh wa Ta’dil, dan Era Informasi Saat ini



Sabtu sore pekan lalu sy kembali mengajak anak-anak jalan-jalan ke toko buku. Sesampainya disana, langkah sy terhenti ketika melihat ada tumpukan buku hijau muda berjudul Mukadimah, karya Ibnu Khaldun. Bukunya sangat tebal, kira-kira dua rim atau seribuan halaman.

Saat membuka pertama kali, pandangan sy langsung tertuju pada kata Jarh wa Ta’dil. Apa itu? Pandangan sy kembali naik turun, scroll atas, scroll bawah. Di bagian atas ada kata khurafat. Apa itu? Agak ke bawah, terus meluncur dari paragraf satu ke paragraf berikutnya, ada filusuf Mobedzan dari Persia, ada Anusyirwan, dan Aristoteles yang ia nukil perkataannya di bukunya itu.

Dalam membaca sekilas dan hanya sebagian kecil itu, sy sulit memahaminya. Sy ingin membelinya, tapi harganya cukup mahal, hampir 300rb. Siapa yang mau membelikan untuk sy? Sekembali dari toko itu, sy penasaran, kemudian mencarinya di Internet, dan menemukan buku itu di Google Books.

Terus terang, ini bacaan kelas berat. Sy butuh membaca berulang kali untuk mengerti apa saja argumen-argumen yang sering ia sebut ketika membaca karya filusuf lain, seperti salah satu komentarnya terhadap tulisan-tulisan Ibnu Al Muqaffa’.

“Sayangnya, ia tidak melengkapinya dengan argumen-argumen, sebagaimana  yang kami lakukan. Ia hanya menyebutkannya secara retoris,” tulisnya. Bayangkan, satu buah komentar ini saja, sy butuh waktu untuk mengerti apa yang ia maksud dengan retoris lebih lama dibanding nulis sintaks SQL.

Terkait dengan era informasi saat ini, Ibnu Khaldun tampaknya sudah mengingatkan di kala jamannya saat itu, tentang bahaya khurafat.

Ia menukil, Al Mas’udi pernah menyebutkan tentang kota tembaga. Seluruh bangunan di kota itu terbuat dari tembaga dan tempatnya berada di padang pasir Sijilmasah. Dikisahkan, Musa bin Nushair menemukan kota ini dalam salah satu serangannya menuju Afrika barat. Kota ini tertutup pintu-pintunya. Orang yang mencoba memanjat pagarnya akan terjatuh ke dalamnya dan tak pernah kembali.

Menurut Ibnu Khaldun, ini adalah kisah khurafat yang mustahil adanya. Pasalnya, menurutnya, padang pasir Sijilmasah biasa dilalui oleh para pengendara dan para penunjuk jalan, tapi mereka tak pernah menceritakan cerita seperti itu.

Dari cerita kisah di atas, sy memahami bahwa khurafat itu suatu berita yang di dalamnya bercampur antara yang benar dan yang tidak benar. Orang-orang di jaman sekarang menyebutnya berita bohong atau hoax. Ibnu Khaldun mengatakan, para cendekiawan menilai suatu berita itu cacat ketika diketahui bahwa isinya mustahil terjadi dan tidak dapat ditakwil dengan sesuatu yang diterima akal.

Berbeda dengan Jarh wa Ta’dil. Menurutnya, metode Jarh wa Ta’dil hanya digunakan dalam berita-berita syariat karena kebanyakan berisi perintah-perintah yang wajib diamalkan. Dugaan kebenarannya sudah cukup. Jalan untuk mencapai dugaan kebenaran itu adalah percaya pada perawi yang adil dan teliti. Perlu digarisbawahi sekali lagi, perawi yang adil dan teliti.

Sedangkan terhadap berita-berita tentang kejadian atau peristiwa, maka kebenarannya dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan kenyataan yang ada. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menuliskan, suatu berita wajib diteliti tentang kemungkinannya. Menurutnya, cara seperti ini lebih penting dan lebih didahulukan daripada metode Jarh wa Ta’dil.

Mengapa? Karena pada Jarh wa Ta’dil, manfaat perintah sudah dapat diambil dari para perawi yang adil dan teliti. Sedangkan manfaat berita diambil dari para pembawa berita (perawi) yang adil dan dari segi kecocokan berita itu sendiri dengan kenyataan yang ada.

Ibnu Khaldun memberikan tips untuk membedakan suatu berita, antara yang benar dan yang batil. Ia mengatakan, kita hendaknya mengamati kehidupan sosial manusia yang menjadi unsur peradaban, lalu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang asli berasal darinya atau yang merupakan cabang darinya.

Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengingatkan, di antara sebab-sebab tersebarnya berita dusta adalah, pertama, selalu percaya pada para penukil berita. Untuk itulah, Ibnu Khaldun menyarankan untuk merefer ilmu Jarh wa Ta’dil.

Kedua, lalai dari tujuan. Seringkali para penukil tidak mengetahui maksud di balik sesuatu yang ia lihat atau ia dengar, lalu ia menukil berita itu dan disangkanya sendiri, diterjemahkan sendiri, disimpulkan sendiri, sehingga ia terjatuh dalam pemberitaan dusta.

Ketiga, menyangka benar, padahal tidak. Menurut Ibnu Khaldun, hal ini sering terjadi dan kebanyakannya disebabkan (terlalu) percaya pada para penukil.

Keempat, tidak tahu bagaimana cara mencocokkan keadaan yang sebenarnya dengan kenyataan atau fakta yang sudah terjadi. Hal itu, menurutnya, karena keadaan-keadaan dalam sebuah berita mungkin saja dimasuki oleh pemalsuan atau cerita yang dibuat-buat. Akibatnya, pembawa berita menyampaikannya sebagaimana yang telah ia dapatkan, padahal berita tersebut sudah dimodifikasi dengan cerita-cerita yang tidak benar.

Kelima, kebanyakan manusia suka mendekati kaum terhormat dan pejabat dengan cara menyanjung atau memuji mereka, serta menyebarkannya kepada banyak orang. Hal itu mengakibatkan berita-berita yang mereka sampaikan kepada manusia sudah tidak sesuai dengan kenyataan lagi. Sebab, adalah sudah menjadi tabiat manusia suka mendapatkan pujian, bernafsu mendapatkan dunia, serta hal-hal yang mengantarkan kepadanya jabatan dan kekayaan. Mereka jauh dari sifat-sifat yang luhur.

Keenam, sebab utama adalah tidak mengetahui karakter-karakter peradaban. Jika seorang pendengar mengetahui karakter suatu peristiwa atau kejadian dan keadaan-keadaan di dunia ini dan hukum-hukum pastinya, maka hal ini akan membantunya untuk meneliti suatu berita sehingga ia tahu antara berita dusta dan berita yang benar.

Hm... cukup panjang juga tulisan ini. Semoga manfaat dan barokah. Aamiin.

Jumat, Februari 07, 2014

Pengalaman Mendapatkan Refund Pulsa

Ini hanya catatan saya, tapi barangkali ada manfaatnya bagi pembaca.

Saya termasuk pengguna perangkat bergerak untuk akses Internet. Namun, akhir-akhir ini kegiatan akses Internet meningkat. Kantor sebelah yang biasa diandalkan akses Internet, kabel teleponnya putus tiga bulan. Mau tak mau anggaran membeli pulsa pun juga meningkat.

Provider merah yang saya langgan sejak Juni tahun lalu, menyediakan paket Internet 60 ribu. Untuk membeli paket tersebut tak cukup dengan pulsa 60 ribu. Minimal ada saldo sedikitnya 100 rupiah, menjadi 60.100 rupiah, baru bisa membelinya.

Oleh karena itu, saya cukup membeli pulsa 75 ribu, yang 60 ribu untuk membeli paket kuota Internet, sisanya 15 ribu untuk kebutuhan SMS. Dalam satu pekan, sisa berkurang sekian ribu, misal menjadi 12 ribu, dan kuota Internet sisa beberapa Mega Byte. Untuk mencegah akses Internet ngadat disaat pekerjaan kritis, saya membeli pulsa 50 ribu lagi, sehingga bisa digunakan untuk membeli paket kuota Internet 60 ribu. 

Masalah terjadi saat transaksi pembelian, ternyata saldo dinyatakan tidak cukup. Begitu dicek sisa saldo pulsa memang tersisa 50 ribu. Bukankah masih ada saldo 12 ribu? Ah, mungkin terpotong akses Internet, pikirku.

Beberapa kejadian seperti itu terus berulang, hanya saja selisihnya 'cuman' seribuan - delapan ribuan, dan saya pun mengabaikannya karena mungkin tersedot akses Internet.

Untuk mengurangi beli pulsa berkali-kali, minggu lalu saya membeli pulsa 100 ribu agar bisa membeli paket kuota Internet yang lebih murah dan lebih besar. Karena sisa saldo masih ada ribuan, kira-kira kurang dari 10 ribuan, kejadian yang sama pun terulang kembali. Saya tak dapat membeli paket kuota 100 ribu, karena pulsa saat itu ternyata tinggal 100 ribu. Rasanya ada yang janggal.

Saya tak ingin beli lagi, dan memutuskan membeli paket kuota 60 ribu, saldo pulsa pun tinggal 40 ribu. Seminggu kemudian, tepatnya kemarin, paket kuota akan habis. Saat dicek masih tersisa saldo 40 ribu. Karena kurang 20 ribu, maka saya kembali membeli pulsa 25 ribu, lagi, untuk digunakan membeli paket 60 ribu, dan kembali gagal transaksi karena saldo tersisa hanya 25 ribu. Lalu, yang 40 ribu kemana?

Kali ini saya benar-benar erosi. Erosi yang besar sekali, seperti merasakan gempa bumi 'buto ijo' lewat, dum dum dum. Saya coba cari nomor yang bisa dihubungi untuk keluhan pelanggan. Saya temukan nomor 118, layanan berbayar 300 rupiah sekali panggilan. Saya ingin ngobrol.

Dari sana saya diterima mbak Customer Service. Ia menyapa, tampak profesional sekali. Suaranya yang ramah, sopan, membuat saya yang tadinya erosi tingkat tinggi menjadi sedikitmenahan diri. Saya utarakan keluhan saya seperti di atas. Mbaknya menerima, mengecek, dan mencatatnya dengan sabar. Ia pun menyampaikan permohonan maaf bahwa itu kesalahan sistem mereka. Ia memastikan bahwa rekannya akan menghubungi saya selambat-lambatnya 3 hari, untuk mengembalikan sisa pulsa 40ribu yang hilang tersebut. 

Tiba-tiba saya merasa pasrah dan kagum dengan mbaknya ini. Dari suaranya, ia tampak begitu kuat menerima keluhan, bisa jadi, dari ribuan pelanggan. Di antara pelanggan, bisa jadi, ada yang menyampaikan keluhannya dengan nada datar, tinggi, dongkol, menahan marah, bahkan iseng, tapi ia masih bisa 'live' menerima keluhan dan mampu meredam kedongkolan pelanggan.

Selang sehari kemudian, saya dihubungi nomor +62111 mengonfirrmasi keberadaan saya masih aktif, dan akan mengembalikan pulsa 40 ribu. Saya ucapkan terima kasih. Pulsa pun di-refund lewat SMS. 

Meski pulsa telah dikembalikan, rasanya tertinggal tanda tanya besar. Sepertinya, saya diajak provider bermain politik. Hah?

Kamis, Agustus 08, 2013

Esensi Angpau Lebaran, di Cina, Arab Saudi, dan Indonesia

Suguhan khas Arab Saudi, dan tradisi orang tua memberi hadiah lebaran
pada anak-anak. Foto: arabnews.com
KETIKA masih belia, di Surabaya, kota kelahiran saya, istilah angpao waktu itu belum begitu familiar.  Saat Lebaran, saya hanya kenal istilah unjung-unjung, yaitu berkunjung ke tetangga sekitar. Itu dilakukan usai sungkeman pada orang tua sendiri. Sepulang unjung-unjung, biasanya sudah mendapat beberapa ribu rupiah, yang disebut sangu, saweran, atau uang lebaran.

Adakalanya saat unjung-unjung, beberapa tetangga tidak menyiapkan uang lebaran, tetapi dengan memberikan kue, permen, atau coklat. Dari semua itu, anak-anak paling suka dengan uang, agar dapat dibelikan pada sesuatu yang disukainya. Dari kebiasaan ini, pemberian kemudian identik dengan uang. Saya meyakini itulah kenapa disebut dengan angpao.

Menurut Wikipedia, istilah angpao dalam kamus berbahasa Mandarin didefinisikan sebagai uang yang dibungkus dalam kemasan merah sebagai hadiah, bonus bayaran, uang bonus yang diberikan kepada pembeli oleh penjual karena telah membeli produknya, atau sogokan. Arti sogokan ini identik dengan sebutan suap, yang berkonotasi negatif. Sedangkan arti bonus bayaran merupakan hadiah, yang bermakna positif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), angpao dikenal dengan kata angpau, sudah mengalami transliterasi. Menurut KBBI, angpau adalah amplop kecil untuk tempat uang sumbangan yang diberikan kepada orang yang punya hajat seperti pernikahan dalam adat Cina. Masih dalam KBBI, istilah lain angpau adalah hadiah atau pemberian uang.

Dengan demikian, bisa dikatakan, asal mula istilah angpao berasal dari bahasa Cina, yang kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia dengan sebutan angpau, yang berarti hadiah atau pemberian uang. Baik buruknya pemberian tergantung tujuan pemberiannya.

Angpau kini menjadi tradisi atau kebiasaan di Indonesia, dan menjadi budaya masyarakat umum. Termasuk masyarakat Islam, angpau digunakan untuk mengganti sebutan hadiah, yang diberikan orang tua pada anak-anak, usai melangsungkan sungkeman atau unjung-unjung di hari Idul Fitri.

Eidiyah di Arab Saudi

Di Arab Saudi, negara dimana Islam berawal, tradisi merayakan Idul Fitri memiliki kemiripan dengan di Indonesia. Di Arab Saudi juga dikenal istilah angpau atau uang lebaran, yang disebut dengan Eidiyah. Dalam bahasa Indonesia, saya meyakini, kata Eidiyah ini kemudian mengalami transliterasi dan diserap menjadi kata Hadiah.

Seperti dikutip dari arabnews.com, saat Idul Fitri, orang-orang Arab Saudi berkumpul di suatu tempat di luar ruangan atau masjid, untuk melaksanakan shalat Idul Fitri yang disebut Al Masyhad. Mereka saling memberikan ucapan salam, selamat berlibur, dan bertukar hadiah serta Eidiyah.

"Al-Masyhad adalah doa kepada Allah agar menerima puasa Ramadan dan berterima kasih padaNya atas Idul Fitri. Muslim biasanya pergi berbondong-bondong untuk melaksanakan shalat beserta anak-anak mereka, " kata Ahmed Badr, seorang pedagang. "Baik pria maupun wanita mandi lebih dulu, mengenakan pakaian baru, memakai parfum, sehingga mereka akan terlihat yang terbaik ketika berdiri menghadap Allah," terangnya.

Usai shalat Ied, mereka kemudian berkumpul bersama keluarga. "Orang Saudi biasanya berkumpul dengan teman-teman dan keluarga untuk sarapan merayakan Idul Fitri,” ujar Abdulrahman Al Nassir, orang Arab Saudi. “Saya dan keluarga berkumpul di rumah kakek untuk sarapan tradisional Idul Fitri. Sebuah meja makan tersedia penuh berbagai jenis makanan yang dimasak di rumah tradisional,” jelas Nassir.

Saat berkumpul itulah Eidiyah diberikan oleh orang tua kepada anak-anak sebagai hadiah Idul Fitri. “Idul Fitri ini seperti Natal, kami memberikan anak-anak mainan dan uang sebagai cara untuk berterima kasih kepada mereka yang telah berpuasa Ramadan, dan mendorong mereka agar tahun depan kembali berpuasa lagi," kata Barazanji.

Tentu saja, kutipan sebagian pendapat masyarakat Arab Saudi tersebut, bukan berarti mewakili semua kebiasaan umum masyarakat Arab Saudi, yang mayoritas Islam. Namun setidaknya menggambarkan bahwa, beberapa daerah di sana memiliki tradisi yang mirip dengan di Indonesia.

Etika Hadiah dalam Islam

Angpau, uang Lebaran, ataupun Eidiyah, esensinya adalah hadiah. Saling memberi hadiah di kalangan Muslimin memiliki pengaruh besar dalam menumbuhkan rasa cinta, dan menguatkan tali persaudaraan. Sebaliknya, menyepelekan hadiah bisa menyebabkan pengaruh yang kurang baik dan menghilangkan rasa cinta di antara mereka.

Dalam suatu riwayat Rasulullah bersabda, “Berilah hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” HR Bukhari dalam al Adab al Mufrad.

Namun demikian, dalam Islam, setiap pekerjaan harus disertai dengan niat yang baik. Untuk itu, seseorang yang akan memberikan hadiah harus memiliki niat yang tulus, memperkuat hubungan saudara karena Allah, menumbuhkan rasa cinta serta menghapus kedengkian karena Allah, yang semua itu demi meraih keridhaan Allah semata.

Idul Fitri adalah momen yang tepat untuk memberi hadiah dalam rangka memperkuat silaturahim. Saat itu, sangat tepat jika memberi hadiah yang disenangi kepada orang yang selalu menanti-nantinya seperti anak kecil, istri, dan lainnya. Begitu juga dengan orang tua, yang selalu menanti-nanti anaknya di hari Lebaran. Mendahulukan pemberian kepada orang tua yang harus dihormati, sangat dihargai dalam Islam.

Akhirnya, semoga tulisan yang sedikit ini, membawa manfaat dan barokah bagi Kita semua, dalam mengambil setiap pelajaran kehidupan.

Tak lupa, ijinkan saya turut berbahagia, dengan mengucapkan selamat merayakan Idul Fitri 1434 H. Semoga Kita kembali menjumpai Ramadan berikutnya, dan semoga amal ibadah Kita selama bulan Ramadan, diterima Allah Subhanahu wa Taala. Taqabbalallahu minnaa wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin atas segala kekhilafan dan kesalahan.

* Subur Anugerah

Minggu, Januari 27, 2013

Kisah Pelajaran Tingkat Sekolah Dasar

Si sulung beberapa kali bertanya pada saya mengenai PR-nya di buku LKS pelajaran penjaskes kelas 4 yang tidak bisa dijawabnya. Untuk menemukan jawaban, biasanya saya arahkan kembali ke teori pengantarnya lebih dulu agar dibaca ulang hingga tuntas. Selain teori, biasanya juga disertai contoh soal, sehingga soal latihan bisa dikerjakan berdasarkan teori dan contoh yang sudah dibahas tersebut. Jika masih kesulitan memahami teori dan contoh, baru boleh bertanya.

Kali ini berbeda. Tak ada teori dalam pengantar yang dirujuk soal. Tak ada penjelasan bagaimana mencari jawaban. Jika semasa sekolah SD dulu, saya akan mencarinya ke perpustakaan, media massa, atau bertanya ke orang yang lebih mengerti, biasanya pada orang tua. Sekarang, bagi yang sudah terbiasa bermain Internet, mungkin langsung akan menjawab “Kan ada Google” atau “Tanya Facebook, Twitter atau Whatsapp”. Kini, jaman sudah berubah.

Masalah 

Untuk mencari jawaban soal tersebut ada effort yang harus dilakukan siswa, tidak ada jawaban datang seketika bak bermain sulap. Bahkan untuk menjadi ahli sulap pun harus ada effort lebih dulu yang tidak mudah. Secara positif, saya berpendapat effort inilah proses yang menjadi inti belajar, bahwa untuk mendapatkan jawaban yang benar tidaklah diperoleh dengan mudah. Mungkin guru sudah mengajarkan di kelas, agar siswa terlebih dulu harus berupaya kerja keras dan melakukan usaha kreatif lainnya hinggga menemukan jawaban yang benar. Jika masih kesulitan, maka siswa hendaknya melakukan usaha lainnya, entah dengan bertanya ke orang tua, saudara, diskusi dengan teman, mencari rujukan di Internet atau literatur perpustakaan.

Masalahnya, banyak anak-anak usia sekolah dasar belum cukup mengerti untuk memahami sendiri apa yang disampaikan guru tersebut, kadang malahan guru tidak mengajarkan sebelumnya dan tidak ada petunjuk bagaimana mencari jawaban selain di buku LKS tersebut. Sering, guru mengatakan “Kerjakan PR halaman sekian sampai sekian, besok dikumpul!” itu saja, tanpa keterangan sama sekali. Jika demikian yang terjadi, hampir tak ada bedanya cara guru mengajar anak-anak sekolah dasar (pedagogi) dengan cara dosen mengajar mahasiswa (andragogi).

Solusi 

Mungkin banyak cara untuk mengatasi hal itu, dan salah satu solusi menurut saya adalah guru agar tidak bosan mengingatkan siswanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah, sekaligus memberi “clue” atau petunjuk untuk mengerjakannya. Jika melibatkan penggunaan Internet, hendaknya hal itu disampaikan kepada siswa dengan mempertimbangkan siswa sudah mampu menggunakan Internet sesuai tingkatnya. Tentu, kondisi ini mengharuskan sekolah sudah mengajarkan pada siswa tentang penggunaan Internet untuk kegiatan belajar mengajar. Jika belum pernah diajarkan, penggunaan Internet setidaknya perlu pendampingan.

Bagaimana pendapat Anda?

Kamis, Januari 03, 2013

Pilih Mana: Sublime Text atau Netbeans?

Saat menulis kode program dalam jumlah banyak, tentu butuh waktu yang tidak sedikit. Lima jam duduk menulis di depan layar monitor serasa hanya 1 jam saja. Tak terasa badan jadi pegel, mata lelah, dan kepala jadi panas. :-D

Untuk menyiasati itu, beberapa programmer punya tipikal sendiri-sendiri. Agar tubuh, mata, dan kepala tetap fresh dalam waktu lama, tools untuk menulis harus dibuat senyaman mungkin. Salah satu tools penting itu adalah alat tulisnya, atau biasa disebut Editor.

Nah, soal kenyamanan ini, gak salah kalau Sublime Text 2 ini merupakan alat tulis yang banyak dipilih programmer. Informasi di Internet pun menyebutkan ada beberapa alasan agar orang berpindah dari Netbeans ke Sublime Text. Sayang, versi UNREGISTERED Sublime Text ini fungsinya sangat terbatas, so, untuk mendapatkan versi penuh harus beli. :-D

Meski begitu, bagi penggemar Netbeans tak perlu kecewa. Demi kenyamanan, profil Netbeans bisa diubah semirip mungkin dengan Sublime Text. Setelah otak-atik, hasilnya seperti ini. Lumayan... :-D

Sublime Text 2 ( versi Windows)
Netbeans 7.2 (versi Windows)
Bagaimana dengan Editor pilihan Anda?

Rabu, Januari 02, 2013

Fix resolvconf di Ubuntu 12.04

Saya baru tahu kalau saja Ubuntu 12.04 mengalami perubahan cukup signifikan saat melakukan DNS resolving, yaitu menggunakan DNS lokal 127.0.0.1.
Hal ini saya ketahui ketika mengkonfigurasi server pada jaringan lokal kampus dengan IP static, begitu usai memasukkan DNS jaringan lokal, misal nameserver 192.168.0.1, dan disimpan di resolv.conf, maka DNS akan hilang saat server dinyalakan kembali.

Saya lalu seriusi peringatan yang ada di berkas resolv.conf ini:
# Dynamic resolv.conf(5) file for glibc resolver(3) generated by resolvconf(8)
# DO NOT EDIT THIS FILE BY HAND -- YOUR CHANGES WILL BE OVERWRITTEN
Memang biasanya ini terkait DHCP, tetapi ternyata juga sama meski menggunakan IP static, yaitu nameserver 127.0.0.1

Usut punya usut, ternyata solusinya cukup mudah, jangan otak-atik lagi resolv.conf seperti peringatan yang ada. Cukup ubah nilai managed=false menjadi true pada konfigurasi NetworkManager disini: /etc/NetworkManager/NetworkManager.conf lalu reboot.

Semoga bermanfaat.

Reference:
- Berbagai sumber dan trial & error.

Sabtu, Desember 08, 2012

Menilai, Pekerjaan Sulit Dosen selain Mengajar

PERNYATAAN ini setidaknya saya baca dari status jejaring sosial dosen-dosen teknik ITB, UGM dan ITS, selang beberapa bulan lalu. Meski dosen tersebut dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, tapi konteks pernyataannya sama, sama-sama sulit menilai hasil belajar mahasiswanya selama satu semester. Mahasiswa tsb sebenarnya pandai, tapi kenyataannya mendapatkan nilai kurang.

Saya sendiri sudah membuktikan pernyataan itu ada benarnya, saat mengetahui bahwa mahasiswa ybs sebenarnya pandai dan hasil belajarnya sangat baik, akan tetapi kenyataannya ybs abai terhadap kelengkapan nilai yang lain. Abai? Ya, sepertinya ia tidak peduli jika salah satu nilainya tidak lengkap. Akibatnya, perhitungan nilai akhir secara obyektif keluar dengan hasil kurang memuaskan.

Nah, soal penilaian obyektif inilah yang kadang jadi masalah. Memang, paling mudah adalah penilaian obyektif ini, cukup melihat dari aktivitas dan hasil evaluasi belajarnya, kemudian dibobot dan dijumlahkan, lalu keluarlah nilai akhir, selesai. Namun, penilaian obyektif kadang mengabaikan unsur subyektif, yaitu perilaku (attitude).

Contohnya begini, kemarin saat mengajar pemrograman web, ada mahasiswa yang bisa mengikuti materi dengan cepat. Suatu ketika ia kesulitan dan bertanya mengapa programnya tak berjalan. Saya datang dan melihat apa kesalahan kodenya. Ternyata dalam entri database ia sisipkan beberapa entri dengan kata-kata, maaf, kurang ajar dan sangat tidak sopan. Meski mungkin tidak ditujukan pada saya, namun saya tidak nyaman dan segera tinggalkan ybs tanpa solusi.

Penilaian obyektif itu bukan berarti melepas tanggung jawab moral dan etika. Meski pandai dan hasil evaluasi sangat baik, namun apabila itu semua diperoleh dengan cara curang misalnya, apalagi kurang ajar, maka hal subyektif seperti ini perlu menjadi pertimbangan. Inilah sulitnya menilai itu.

Bagaimana menurut Anda?

Rabu, Desember 05, 2012

Blogging, Bukan sekedar Tulisan

Beberapa hari lalu saya mendapat kabar baik, menggembirakan gitu deh. Kabar itu bercerita bahwa apa yang telah saya kerjakan selama belasan tahun ini, mulai mendapat perhatian. Mudah-mudahan perhatian itu terus berkesinambungan, lancar, dan berkah, aamiin.

Hah! Belasan tahun baru sekarang dapat perhatian, emang perhatian apaan? Siapa yang kasih perhatian kok sampe gembira gitu?

Ah, mau tau aja, entar kepo loh... :-D

Jadi, apa yang sudah dilakukan belasan tahun itu?

Salah duanya adalah menulis dan blogging. Menulis itu hal yang biasa, blogging juga hal yang biasa yang kulakukan sejak lebih dari 7 tahun lalu. Nah, selama dalam kurun waktu itu saya sudah merasakan manfaat positifnya, seperti kepuasan hingga finansial, gak seberapa sih, paling bisa buat bayar hosting dan beli pulsa saja. Tujuan awal blogging sih bisa ditelusuri disini, jadi kepuasan hingga finansial itu hanya efek samping. Meski menulis dan blogging itu berbeda, tapi ya gitu deh... sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. :-D

Ah, lebay... Biasa aja kali... :P

Jadi begini, emm... mulai dari mana ya... emm... yang jelas begini, saya mendapat manfaat lebih dari biasanya dari kebiasaan saya menulis dan blogging ini. Itu saja sih.

Iyaa... Tau... Menulis dan blogging gitu loh... Tapiii... Manfaatnya apa... Coba sebutin satuuu... saja!

Lha itu sudah dibahas di paragraf pertama, baca ga sih lo?

Bentar... Dibaca ulang dolo... yang mana coba?! Gak ada kan? Lha wong cuman nulis gini aja kok gembira luar biasa, gimana sih lo... gak jelas... *sambil telunjuk ditempelin ke pelipis lalu bilang 'pake otak!' dan bibir nyengir

Iya ya... Nulis kek gini aja... Lo juga bisa ya kan? Nah, kalau sudah bisa menulis itu patut disyukuri, bahwa menulis itu juga salah satu nikmat yang dianugerahkan Yang Maha Kuasa. Cara mensyukurinya, salah satunya adalah dengan menulis yang baik. Menurut saya sih tulisan baik itu secara tekstual memenuhi kaidah bahasa yang benar dan secara kontekstual bisa memberikan pengaruh positif bagi pembacanya, begitu lah. :-D

#monolog #iseng #blogging #menulis #bukancopypaste #asli

Minggu, Juni 24, 2012

Gowes dan Baut Kendaraan

Menyelam sambil minum air. Pepatah ini mungkin cocok digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang salah satunya baru saja pagi ini saya lakukan.

Apaan itu?

Gowes sambil "minum" baut, eh, maksudnya sambil memulung baut dan mur motor yang tergeletak di pinggir jalan, sepanjang jalan yang saya lalui saat gowes. Eh, jadi pemulung baut. Lumayan bisa dijual lagi kiloan. :-)

Kebanyakan baut-baut itu berukuran sedang, seperti baut plat nomor, baut penguat knalpot, baut sayap motor, dan sebagian kecil seukuran jempol kaki pria dewasa, mungkin bautnya truk. Untuk yang gede ini saya tak memungutnya, gak tahu kenapa hehehe...

Paling banyak baut-baut itu saya temukan di sepanjang jalan Minyak. Kondisi jalan yang mulus, sedikit lenggang, dan lebar ini mungkin menyebabkan kendaraan yang lewat di jalan itu memacu laju cukup kencang. Bagi kendaraan yang bautnya kendur dan tidak kuat, tentu baut dan murnya mudah lepas. Ini berbahaya.

Beberapa baut itu masih kelihatan baru, meski ada juga baut yang sudah berkarat. Saya hanya memilih yang masih bagus saja, yang masih layak untuk digunakan kembali. Maklum, harga sebiji baut dan mur bagus saat ini cukup mahal, di atas Rp 2 ribuan.

Pelajaran :
- periksa kembali kekuatan baut dan mur kendaraan sebelum digunakan berpergian.
- jangan ngebut meski jalanan lenggang, apalagi ramai kendaraan.