Dalam seminggu terakhir ini, peran profesi guru menjadi pemberitaan media massa, masyarakat, pejabat bahkan walikota turut memperhatikan. Pasalnya, ujian nasional yang telah berlalu itu masih menyisakan kepiluan bagi siswa-siswa sekolah menengah atas yang belum berhasil walaupun masih ada kesempatan ujian susulan pertengahan Agustus nanti, bahkan lebih mengagetkan lagi, dalam berita Metrotv seorang siswa sekolah menengah negeri di kota ini bunuh diri dengan cara menggantung gara-gara nda lulus ujian nasional. Buntutnya, peran guru yang kurang optimal dalam menjalankan profesinya dituding sebagai hal yang paling menentukan. Sebaliknya, guru pun tak mau dituding begitu saja, banyak faktor yang menentukan keberhasilan siswa dalam menempuh studinya, termasuk minimnya gaji guru menjadi salah satu alasan yang mengemuka.
Di lain sisi, dalam milis internal yang anggotanya terdiri dari dosen dan petinggi di lingkungan suatu perguruan tinggi menyebutkan tentang ajakan pada kalangan dosen untuk ‘lebih tegas’ dalam menjalankan profesinya, tidak takut memberi nilai sesuai dengan kemampuan mahasiswanya dan mengharapkan tidak ada ‘markup’ nilai tanpa kompromi apapun.
Dari dua peristiwa berbeda diatas, saya hanya memperhatikan paradigma pengajaran dan pembelajaran yang tampaknya lebih perlu perhatian, walaupun orang melihat ada hal lain yang lebih membutuhkan bukan sekedar perhatian tapi tindakan solusi: minimnya gaji misalnya. Dalam perjalanan pulang bersama Jamal, teman, dari Banjarmasin – Balikpapan usai pelatihan di kopertis tempo hari, dengan logat Suroboyoan saya berujar “Lhee…ala, tiba’e golek ilmu iku larang yo, direwangi budhal adoh soko Balikpapan ninggal anak bojo nyampe kopertis cuma’ diuru’i Total Commander karo carane ngisi data yoo…”. Mendengar saya Jamal ganti tanya “Ilmu itu apa sich, hayoo..”. Saya hanya diam nda tahu supaya Jamal sendirilah yang jawab “Kita kekopertis ini untuk cari ilmu, transfer ilmu Total Commander, nah ilmu itu adalah kalo’ sampean kesulitan mengolah berkas/file terus pake’ Total Commander jadi gampang dan cepat itulah ilmu, iya”. Gitu kuliah singkatnya, ya…ya…ya… saya jadi tahuJ
Nah kalo kita cermati dialog antara saya dan Jamal, setidaknya paradigma pengajaran kurang lebih apa yang saya katakan dengan logat Suroboyoan itu, seperti halnya dosen hanya mengajari cara-cara mengoperasikan software tanpa memberi kesempatan pada mahasiswa bagaimana menangani masalah adanya bug misalnya, guru sekedar mengajari saja tanpa diimbangi dengan upaya agar anak didik belajar bagaimana memecahkan masalah yang timbul, bagaimana mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya. Paradigma pengajaran bukan hanya bergeser ke paradigma pembelajaran, namun keduanya saling mengimbangi dan berjalan serasi dan melibatkan seluruh komponen pendukung lainnya.
Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar