Selasa, September 16, 2008

Lipsus Mudik: Potret Kemiskinan dan Hikmah

Salah satu keunikan dalam melakukan perjalanan jauh seperti mudik ini adalah dengan melihat kondisi dan keadaan lingkungan di sekitarnya secara lebih dekat. Sembari mengambil hikmah apa yang dilihat dari setiap laku dan perbuatan masyarakat maupun diri sendiri terhadap lingkungan sekitarnya. Mirip seperti seorang journalist ataupun photographer yang mengambil materi berita ataupun potret dari sudut pandang yang berbeda, sebagai blogger pun sebenarnya bisa mengambil pelajaran yang teramat berharga, menelisik kehidupan masyarakat dan mencatatkannya untuk sesuatu yang mungkin terlihat tidak berharga. Kebanyakan dari manusia memiliki sifat dasar lemah dalam mengambil pelajaran, tetapi lebih suka mengeluh atau membanggakan diri sendiri dengan menunjukkan kemapanan materi. Siapapun mudah menerkanya, kebanyakan materi yang dibanggakannya hanyalah sekedar kulitnya saja, sesuatu yang nampak dari luar dan gemerlap dilihat mata, tetapi lucunya tidak banyak yang benar-benar tahu apa yang dibanggakannya itu. Bila taraf kebosanan mulai menghinggapinya, materi yang dibanggakannya itu bisa jadi akan menjadi sampah yang tidak berarti sebagaimana sampah-sampah lain yang dibuangnya, dan terus berulang kembali.

Sulit bagi saya membuat liputan khusus mengenai mudik yang saya lakukan secara live dengan perangkat teknologi informasi dan telekomunikasi ala kadarnya yang saya miliki ini setelah membaca, mendengar, dan melihat kenyataan, bahwa potret kemiskinan sangat mempengaruhi pola kehidupan bangsa ini. Sejenak tertegun melihat lebih dekat dari sisi kemanusiaan, ternyata ada sesuatu yang lebih penting yang dapat diambil hikmahnya, atau setidaknya ikut merasakan bahwa ada kepelikan dan kerumitan hidup yang cukup berat yang dialami sebagian masyarakat di sebagian wilayah Indonesia tercinta ini. Mengoplos daging dengan daging tidak layak untuk memperoleh keuntungan berlipat, mengolah daging rusak dan makanan sampah untuk dikonsumsi kembali, mudah memuncaknya ketidaksabaran, ketidaklegowoan dan emosional sehingga timbul kerusuhan, hingga matinya puluhan nyawa akibat berebut zakat dari seorang dermawan, cukuplah menambah catatan buram potret kemiskinan dan kerusuhan di negeri ini.

Uniknya, justru kerumitan dan cobaan duniawi itu terlihat nyata dan dapat dirasakan pada bulan Ramadhan, bulan suci dimana pahala dan dosa dilipatgandakan melalui ujian hawa napsu, kerumitan, konflik kepentingan dan cobaan duniawi lainnya. Sepuluh hari di akhir bulan Ramadhan, adalah kesempatan bagi sesama umat muslim untuk lebih berlomba-lomba lagi dalam kebaikan. Namun kebanyakan dari hari-hari itu adalah puncak dimana segala persiapan menyambut lebaran begitu tinggi, yang begitu menguras biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Seolah-olah ujian untuk beribadah menjadi semakin sulit dan lebih halus menghalang-halangi diri untuk berkontemplasi sejenak, agar lebih mendekatkan diri kepadaNya secara ikhlas.

Mari kita jalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini dengan baik.

Surabaya, 16 September 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar