Ini hanya bagian kecil cerita bersosial di Jogja, dimana saya selalu heran dan salah tingkah dengan adat dan budaya daerah, seperti ketika mengobrol dengan orang yang termasuk sepuh. Budaya Jawa, terutama daerah Surakarta dan Ngayogyakarta terkenal sangat halus bahasa pergaulannya, selalu menggunakan logat Jawa kromo inggil, bahasa yang jadi mata pelajaran paling menakutkan ketika saya masih sekolah dasar. Akibatnya, kini saya selalu salah tingkah saat berbincang dengan orang-orang “halus” ini, misalnya ketika berbicara dengan menunjuk sesuatu dengan jari telunjuk, maka orang-orang “halus” ini malah bertanya kembali seolah-olah tidak jelas mana sesuatu yang ditunjuk, padahal jelas-jelas yang ditunjuk itu di depan mata. Tapi coba lipat 4 jari telunjuk dan gunakan jempol kanan --ibu jari-- untuk menunjuk dengan arah telapak menghadap ke atas, maka itu sudah cukup sopan sebagai tanda menunjuk sesuatu, walaupun yang ditunjuk itu saaa...ngat jauh, bahkan tidak terlihat sekalipun.
Yang paling sering adalah ketika makan di warung, selesai makan tentu terakhir adalah membayar, “Tadi makan nasi tahu telor, teh hangat, tambahnya krupuk emping satu, berapa?” Sambil komat-kamit penjual menghitung, “Lima ribu lima ratus”. Hmm... murah ya, sambil menyerahkan uang lebih. Karena rasanya terlalu murah sering saya kira penjual salah menghitung, konyolnya saya ulang kembali rincian makan tadi. Maka di sinilah suara agak keras si penjual dengan merinci satu persatu harga masing-masing komponen segala macam itu. Agar tidak salah paham, saya katakan “Murah...” datar sambil mangut-mangut. Sing ati-ati karo wong Jowo tole, weleh...
Betul murah kah? Iya betul, di jaman ekonomi sulit sekarang ini harga segitu murah sekali bila dilihat kualitas dan kuantitasnya, bahkan ada yang lebih murah lagi, dan itu sering saya mengalami salah paham gara-gara sok ndeso makan di warung. Karena banyak salah paham itu, akhirnya jadi sungkan, ewuh pakewuh untuk datang lagi, padahal itu warung terdekat. Maka saya keluar agak jauh lagi dari rumah, mencari nasi padang, lotek, soto ayam, soto daging, soto kudus, sayur bayam, sayur lodeh, sop, telor bali, ceker ayam, sate ati, wah... lebih banyak variasinya. Dan semua itu termasuk murah dan terjangkau menurut saya. Coba bandingkan, adakah seporsi soto ayam seharga Rp 2.500? Nasi padang, sepotong dadar telor ayam pedas tebal, sepotong tempe, tambah teh hangat, semuanya Rp 5.500? Soto daging sapi Rp 4.000? Tapi jangan dibandingkan dengan jaman sebelum krisis moneter 10 tahun lalu, ketika seporsi soto ayam hanya 250 - 500 perak, seliter bensin premium 450 perak, dan sebulan biaya hidup anak kost tak lebih dari 100 ribu, karena kini semuanya naik lebih dari 10x lipatnya.
Untuk berhemat dan agar tidak keluar rumah, kadang mencoba memasak sendiri, tapi ternyata cukup repot dan wasting time, jadi cukup menanak nasi di hari-hari libur saja. Kendati demikian, pola makan saya sering tidak teratur, hampir setiap hari si sulung, Nasywa, di telepon selalu mengingatkan “Ayah... ayah mam apa sih?”, “Ayah sudah mam apa belom?”,” Ayah ini sudah dibilangin jangan makan indomie terus yah... ayah bisa mam sama telor, ayam goreng, soto, yah... blablabla...” Saya yang mendengarnya hanya tersenyum --plengeh-- saja, tapi... ayahnya ini sangat bandel juga sih, sudah sering diingatkan... eh, akhirnya kini maag-nya kambuh lagi. Nah loh!
Dan kemarin, saya mencoba saran ibunya anak-anak, langganan katering untuk puasa ramadhan, agar lebih nyaman dan mudah-mudahan lebih tertib... :-)
Kamis, Agustus 21, 2008
Minggu, Agustus 17, 2008
Merdeka itu Cinta
Selasa, Agustus 12, 2008
Menulis Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar itu Sulit
Berapa lama Anda belajar bahasa Indonesia?
Ada yang menyebut 12 tahun, karena dimulai dari tingkat sekolah dasar (SD) selama 6 tahun, kemudian 3 tahun sekolah menengah pertama (SMP), dan terakhir 3 tahun sekolah menengah atas (SMA). Adapula yang menyebut lebih dari 12 tahun, sebab masih dilanjutkan ujian masuk perguruan tinggi yang menyertakan syarat ujian Bahasa Indonesia, kemudian bila memilih jurusan atau program studi Bahasa Indonesia pun masih belajar lagi hingga sarjana. Bukan itu saja, pada program studi selain itu, syarat untuk menulis laporan tugas akhir, harus memenuhi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan ini wajib dilalui dengan baik ketika harus menyelesaikan thesis bagi program pasca sarjana, hingga desertasi doktor.
Jadi, seandainya ada orang yang berpendidikan tinggi, setidaknya cara menulis yang baik dan benar tercermin dalam kegiatan sehari-harinya. Akan menjadi suatu pertanyaan besar dan berbuntut panjang, bila ternyata menulis bahasa Indonesia saja masih kacau balau. Lalu, bagaimana sebaiknya berbahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah seperti tulisan saya ini? Lho... bukannya sudah puluhan tahun belajar bahasa Indonesia? Ah, kacau sekali, baik, baiklah, saya masih perlu belajar lagi menulis yang baik. Untuk itu, tolong sekali lagi ingatkan dan ajarkan saya berbahasa Indonesia yang baik dan benar, minimal Anda dapat memeriksa kesalahan dan membetulkan tulisan saya ini. ;-)
Ada yang menyebut 12 tahun, karena dimulai dari tingkat sekolah dasar (SD) selama 6 tahun, kemudian 3 tahun sekolah menengah pertama (SMP), dan terakhir 3 tahun sekolah menengah atas (SMA). Adapula yang menyebut lebih dari 12 tahun, sebab masih dilanjutkan ujian masuk perguruan tinggi yang menyertakan syarat ujian Bahasa Indonesia, kemudian bila memilih jurusan atau program studi Bahasa Indonesia pun masih belajar lagi hingga sarjana. Bukan itu saja, pada program studi selain itu, syarat untuk menulis laporan tugas akhir, harus memenuhi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan ini wajib dilalui dengan baik ketika harus menyelesaikan thesis bagi program pasca sarjana, hingga desertasi doktor.
Jadi, seandainya ada orang yang berpendidikan tinggi, setidaknya cara menulis yang baik dan benar tercermin dalam kegiatan sehari-harinya. Akan menjadi suatu pertanyaan besar dan berbuntut panjang, bila ternyata menulis bahasa Indonesia saja masih kacau balau. Lalu, bagaimana sebaiknya berbahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah seperti tulisan saya ini? Lho... bukannya sudah puluhan tahun belajar bahasa Indonesia? Ah, kacau sekali, baik, baiklah, saya masih perlu belajar lagi menulis yang baik. Untuk itu, tolong sekali lagi ingatkan dan ajarkan saya berbahasa Indonesia yang baik dan benar, minimal Anda dapat memeriksa kesalahan dan membetulkan tulisan saya ini. ;-)
Kamis, Agustus 07, 2008
Photoblog: from Balikpapan Merdeka Square
my girl, background balikpapan's photographers
Originally uploaded by suburanugerah
My girl, Shaza, with balikpapan's photographers background, taken on August 3, 2008.
Kamis, Juli 31, 2008
Membuat Situs ala DetikCom dengan Wordpress

Ternyata menggunakan Wordpress itu menyenangkan, setidaknya itu yang saya rasakan. Adanya perbaikan yang terus berkelanjutan, framework yang mudah dipelajari, desain themes yang sangat bervariasi dan mudah dikembangkan, plugin serta dukungan yang luas dari penjuru dunia memungkinkan Wordpress semakin berkembang pesat. Berbagai macam bentuk dan desain situs, baik yang sederhana hingga yang rumit, dengan Wordpress, itu semua bisa dikondisikan dalam keadaan serupa tapi tak sama. Sifat Wordpress yang terbuka, menjadikannya sebagai salah satu Content Management System (CMS) yang unggul dan memiliki komunitas yang luas dan kuat.
Seperti yang saya rasakan baru-baru ini, mengoprek dan mengaturnya pun tak begitu repot. Ketika melihat situs Detik.Com yang baru, kadang ada rasa semacam tantangan: bagaimana membuat dan mendesainnya? Bisakah cukup dibuat dengan Wordpress? Hmm... itu tak mudah. Beruntung, situs obyek contoh sudah ada, kali ini adalah situs detiksurabaya.com, sedang obyek client adalah stikom-bpp.ac.id. Repotnya, tak cukup tersedia waktu, tenaga dan tak punya senjata layaknya pegangan para desainer web pro. Mau tak mau, harus menyesuaikan kondisi apa adanya, lagi pula tak mau ambil resiko atau mengambil jalan pintas, so simple saja.
Maka, dimulailah proyek tantangan itu, berbekal senjata Ubuntu GNU/Linux, Apache, MySQL, Cssed, Bluefish, Gimp, dan beberapa koleksi browser seperti Firefox, Epiphany, Galeon dan Opera untuk sarana testing dan implementasi. Plus VirtualBox untuk menjalankan browser IE7 dan browser yang running di Windows, kemudian mengakses situs yang diuji coba di server local, akhirnya syukurlah tampilan tak berantakan lagi. Lega... Capek dolo ah... kering lagi. :P
Sabtu, Juli 26, 2008
Posting Artikel Blog Menggunakan OpenOffice
Iseng jalan-jalan, ada informasi bahwa untuk memuat artikel ke dalam blog, cukup mengetikkan ke dalam OpenOffice, lalu submit ke blogger.com. Mungkin selama ini ada yang sudah menggunakan Scribefire, yaitu add-ons browser Firefox yang fungsinya hampir sama. Dulu, Scribefire sudah pernah saya coba untuk memposting artikel blog, tapi kurang nyaman, karena ada pesan Scribefire di bawah artikel. Nah, bila artikel ini berhasil dibaca, berarti berhasil pula posting artikel melalui OpenOffice 2.4 yang jalan di GNU/Linux Ubuntu 8.04 saya.
Selamat ya.
Minggu, Juli 20, 2008
Gempa dan Tujuh Belasan
Seakan sudah biasa, gempa yang dirasakan Yogyakarta minggu siang ini sekitar pukul 13:10 WIB lewat begitu saja, mudah-mudahan tak ada apa-apa. Saya sendiri mengakui sudah cukup sering merasakan gempa dalam skala kecil, syukurlah semuanya masih dalam keadaan aman dan selamat. Ketika merasakan gempa, posisi saya sedang duduk di kursi, asyik dengan laptop di meja, berada di kamar lantai atas. Tiba-tiba meja dan kursi terasa ada yang menggoyang keras, lalu melihat pintu kamar dan kuncinya yang menggantung juga tergoyang-goyang, seketika itu saya langsung keluar kamar, masya Allah, di luar sepi... tak terlihat ada orang panik. Apa hanya saya saja yang merasakan gempa? Atau ini gara-gara efek goyang dangdut semalam? Ah, nggak tahu lah. Tapi setelah jalan keluar rumah, memang ada yang mengakui terjadi gempa barusan.
Dua jam setelah itu, aktifitas warga Pogung Kidul area Selokan Mataram mulai kembali giat, acara tujuh belasan tetap dilaksanakan seperti pengumuman sebelumnya. Lomba tangkap bebek dan gebuk bantal adalah andalan untuk hari minggu ini.


Update: Berita terkait gempa di detik.com sini dan di sana. Di Kompas.com juga ada.
Dua jam setelah itu, aktifitas warga Pogung Kidul area Selokan Mataram mulai kembali giat, acara tujuh belasan tetap dilaksanakan seperti pengumuman sebelumnya. Lomba tangkap bebek dan gebuk bantal adalah andalan untuk hari minggu ini.


Update: Berita terkait gempa di detik.com sini dan di sana. Di Kompas.com juga ada.
KPK dan Mendadak Dangdutan

Menurut informasi di milis kampus, ada banyak acara di Jogja, salah satunya malam minggu ini ada pameran budaya di benteng Vredeburg, Malioboro. Tanpa pikir panjang, habis sholat isya' saya langsung menuju lokasi. Begitu tiba di sana, beuh... kok sepi? Di halaman ada mobil KPK pasang layar tancap, ow... ternyata KPK ikutan kampanye juga tho, sebentar, lihat dulu nonton filmnya KPK, hmm... dibintangi Dedy Mizwar dan para pemain sinetron “Kiamat Sudah Dekat”. Hey! Bukan film ini yang kucari, tapi mau lihat pameran. “Pak, dimana pameran budayanya?” tanya saya pada tukang parkir. “Itu di sana!” sambil ia menunjuk ke arah Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Loh, kok di sana? Curiga, jangan-jangan informasi di milis itu salah, hmm... orang sekarang asal comot dan forward informasi nggak jelas, dasar! Tapi coba dululah, masuk ke benteng, benar, sepi gelap... akhirnya nggak jadi masuk, dan belok kanan menuju ke monumen.


Eee ladalah... yang ditunjuk tukang parkir tadi mendadak dangdutan, ada lomba joget, malah jadi ikutan nongkrong jadi penonton. Anehnya jadi kerasan, nonton acara apa saja di Jogja rasanya suasana juga ikut mendukung. Pasalnya, yang nonton bukan saja anak muda, tapi campur aduk, ada tua muda, kaya nggak kaya, yang ada hanya goyang joget dangdutan, suasananya pun jadi guyub, pantas saja di tempat ini banyak orang sekedar duduk leyeh-leyeh, dengan pasangan atau sendirian tetap asyik saja. Akhirnya saya duduk di bibir jalan dekat orang tua, sembari ngobrol ngalor ngidul nonton goyangan maut artis penyanyi dangdut dan lomba joget. Gila! Itu penyanyi bukan cuman goyang saja, tapi salto, kayangan, jumpalitan, naik tiang besi panggung, putar-putar rambut dan kepala, wah... hebat pokoknya. “Luar biasa, tepuk tangan penonton...” begitu kata Tukul biasanya, hehehe...
Jumat, Juli 18, 2008
Menulis Arab di Linux
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ ﷲِ وَبَرَكَاتُهُ

Mungkin posting saya ini sudah basi, mengingat hal ini sudah biasa digunakan oleh para pengguna komputer, terutama yang sering menulis tulisan Arab mengutip lafaz Al Quran atau Al Hadist. Bahkan ada orang Indonesia yang sering menggunakan Arab gundul -- tanpa harokat -- untuk menulis keseharian. Lho kok? Iya, saya dulu mempunyai teman yang hanya bisa membaca dan menulis Arab untuk sehari-harinya, bukan tulisan latin atau gedrik -- huruf tegak. Konon ceritanya ia memang SDTT -- sekolah dasar tidak tamat -- tapi pintar mengaji. Kendati demikian, terakhir beberapa tahun lalu bertemu sepertinya ia sudah mahir membaca.
Kembali ke topik, sering saya temui di berbagai milis menanyakan perihal cara menulis Arab di komputer. Kebanyakan jawaban mengarahkan penggunaan sistem operasi Windows Arabic yang sudah dibuat model Arab, atau install software ini itu, jujur saya tidak tahu apa yang diinstall. Dulu, saya pernah menulis Arab menggunakan Symbol pada MS Word, lumayan bagus, tapi Arabnya gundul tanpa harokat, dan keselnya bukan main, karena kilik-kilik satu-satu.
Saya kira, saat ini sudah banyak perangkat lunak untuk menulis karakter huruf yang aneh-aneh ala tulisan Jawa, Bali, Bugis, Rusia, Arab, Tagalog (Filipina), Thailand, Katakana (Jepang), Mandarin (China) dan sebagainya. Hanya yang jadi masalah adalah perbedaan bahasa dan kebanyakan orang belum tahu dan belum terbiasa saja. Nah, coba tanya om Google, banyak sekali informasi yang bisa dicoba.
Kalau saya sendiri lebih suka menggunakan Gucharmap, yaitu aplikasi peta karakter yang memungkinkan untuk menyisipkan karakter spesial tertentu pada sebuah dokumen atau text field. Dengan demikian, saya tak perlu menghapal simbol-simbol Arab pada keyboard atau menempeli simbol huruf Arab pada tiap-tiap tombol keyboard. Cukup bermain dengan mouse dan memilih karakter mana yang hendak disusun. Hebatnya, hurufnya langsung tersambung otomatis seperti demikian:
.اِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَا عَنِ الْفَخْشَاءِ وَالْمُنْكَرْ
Kemudian bila telah tersusun satu atau beberapa kalimat, tinggal di-copy-paste ke OpenOffice Writer, kemudian tambahkan harokatnya di sana. Memang kelemahannya bila menulis dalam jumlah banyak, misalnya 100 kalimat, lebih baik menggunakan keyboard dan diketik langsung pada OpenOffice Writer. Syaratnya hanya aktifkan Arabic style pada Keyboard Preferences. Bila belum ada style Arabic, install lebih dulu SCIM (Smart Common Input Method) juga fonts Arabic. Saya menggunakan Ubuntu, tinggal buka Synaptic Package Manager atau ke terminal, ketik:
$ sudo apt-get install scim
Setelah itu coba lihat di panel atas, biasanya muncul keyboard indicator, tinggal pilih Arabic atau USA. Jangan lupa, instalasi juga paket Arabic untuk OpenOffice, untuk menulisnya pilih font Scheherazade. Ada yang telah menyusun program kecil sehingga memudahkan menulis Arab menyesuaikan style keyboard yang ada, coba kunjungi aksara Arab di wiki.ubuntu-id.org.
Selamat mencoba.
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ ﷲِ وَبَرَكَاتُهُ
Update:
Beberapa browser mungkin tidak bisa membaca dengan baik tulisan Arab di atas. Saya coba Firefox 3, Galeon, Epiphany terlihat masih bisa dibaca. Sedang Opera 9.5 for Linux terlihat putus-putus di antara harokatnya. Sedang di IE7, hanya huruf lam-alif tidak mengikat sempurna.

Mungkin posting saya ini sudah basi, mengingat hal ini sudah biasa digunakan oleh para pengguna komputer, terutama yang sering menulis tulisan Arab mengutip lafaz Al Quran atau Al Hadist. Bahkan ada orang Indonesia yang sering menggunakan Arab gundul -- tanpa harokat -- untuk menulis keseharian. Lho kok? Iya, saya dulu mempunyai teman yang hanya bisa membaca dan menulis Arab untuk sehari-harinya, bukan tulisan latin atau gedrik -- huruf tegak. Konon ceritanya ia memang SDTT -- sekolah dasar tidak tamat -- tapi pintar mengaji. Kendati demikian, terakhir beberapa tahun lalu bertemu sepertinya ia sudah mahir membaca.
Kembali ke topik, sering saya temui di berbagai milis menanyakan perihal cara menulis Arab di komputer. Kebanyakan jawaban mengarahkan penggunaan sistem operasi Windows Arabic yang sudah dibuat model Arab, atau install software ini itu, jujur saya tidak tahu apa yang diinstall. Dulu, saya pernah menulis Arab menggunakan Symbol pada MS Word, lumayan bagus, tapi Arabnya gundul tanpa harokat, dan keselnya bukan main, karena kilik-kilik satu-satu.
Saya kira, saat ini sudah banyak perangkat lunak untuk menulis karakter huruf yang aneh-aneh ala tulisan Jawa, Bali, Bugis, Rusia, Arab, Tagalog (Filipina), Thailand, Katakana (Jepang), Mandarin (China) dan sebagainya. Hanya yang jadi masalah adalah perbedaan bahasa dan kebanyakan orang belum tahu dan belum terbiasa saja. Nah, coba tanya om Google, banyak sekali informasi yang bisa dicoba.
Kalau saya sendiri lebih suka menggunakan Gucharmap, yaitu aplikasi peta karakter yang memungkinkan untuk menyisipkan karakter spesial tertentu pada sebuah dokumen atau text field. Dengan demikian, saya tak perlu menghapal simbol-simbol Arab pada keyboard atau menempeli simbol huruf Arab pada tiap-tiap tombol keyboard. Cukup bermain dengan mouse dan memilih karakter mana yang hendak disusun. Hebatnya, hurufnya langsung tersambung otomatis seperti demikian:
.اِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَا عَنِ الْفَخْشَاءِ وَالْمُنْكَرْ
Kemudian bila telah tersusun satu atau beberapa kalimat, tinggal di-copy-paste ke OpenOffice Writer, kemudian tambahkan harokatnya di sana. Memang kelemahannya bila menulis dalam jumlah banyak, misalnya 100 kalimat, lebih baik menggunakan keyboard dan diketik langsung pada OpenOffice Writer. Syaratnya hanya aktifkan Arabic style pada Keyboard Preferences. Bila belum ada style Arabic, install lebih dulu SCIM (Smart Common Input Method) juga fonts Arabic. Saya menggunakan Ubuntu, tinggal buka Synaptic Package Manager atau ke terminal, ketik:
$ sudo apt-get install scim
Setelah itu coba lihat di panel atas, biasanya muncul keyboard indicator, tinggal pilih Arabic atau USA. Jangan lupa, instalasi juga paket Arabic untuk OpenOffice, untuk menulisnya pilih font Scheherazade. Ada yang telah menyusun program kecil sehingga memudahkan menulis Arab menyesuaikan style keyboard yang ada, coba kunjungi aksara Arab di wiki.ubuntu-id.org.
Selamat mencoba.
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ ﷲِ وَبَرَكَاتُهُ
Update:
Beberapa browser mungkin tidak bisa membaca dengan baik tulisan Arab di atas. Saya coba Firefox 3, Galeon, Epiphany terlihat masih bisa dibaca. Sedang Opera 9.5 for Linux terlihat putus-putus di antara harokatnya. Sedang di IE7, hanya huruf lam-alif tidak mengikat sempurna.
Minggu, Juli 13, 2008
Dari Kondangan Minum Es Dawet Banjarnegara
Hari minggu lalu, 6 Juli 2008, ada teman yang nikahan di Klaten, kami sekelas -- ada yang bolos -- akhirnya berangkat sama-sama. Jujugan di KPTU, lalu berangkat dengan 5 (6?) mobil, yaa... mirip konvoi, hanya saya dan Azhar naik tigernya. Kenapa nggak sama-sama naik mobil? Yaa... biar bisa lihat-lihat pemandangan, lagian menghindari mabok, si Azhar juga pulang kampung. Lumayan jauh juga sampai di Klaten, lalu acara demi acara berlalu, ya... seperti biasa adat Jawa halus, bahasanya pun sulit saya pahami -- padahal orang Jawa tulen.
Urusan kondangan pernikahannya teman, tahun ini ada banyak yang masuk daftar, pertama si Himawan yang diadain di JEC dan dihadiri para pejabat, ada pak Amien Rais, ada menteri... wah. Orang penting banget. Lalu nikahnya si Dian Gondrong -- sudah jadi bos malah baru nikah -- di Malang. Lalu si Nur di Gresik, yang ini bisanya cuman titip salam doang, si Titik Klaten, disusul bulan Agustus nanti tampaknya juga ada, si Said di Balikpapan, tapi kayaknya enggak bisa datang. Belum termasuk undangan tetangga kampung yang nikah... weleh.


Kembali ke cerita awal, sehabis pulangan kondangan dari Klaten, bareng Azhar saya sempatkan mampir di Bogem -- setelah Prambanan -- pinggir jalan minum es dawet Banjarnegara. Rasanya seger, manis, enak. Lupa sudah berapa kali saya minum es dawet di situ, yang jelas pertama kali saya minum bareng istri dan anak-anak sehabis dari Prambanan tahun lalu. Waktu itu BBM belum naik, sekarang BBM sudah naik pun harga segelas es dawet Banjarnegera masih stabil, Rp 1.000. Padahal, segelas es teh dengan volume yang sama lebih mahal 2x lipatnya.
Urusan kondangan pernikahannya teman, tahun ini ada banyak yang masuk daftar, pertama si Himawan yang diadain di JEC dan dihadiri para pejabat, ada pak Amien Rais, ada menteri... wah. Orang penting banget. Lalu nikahnya si Dian Gondrong -- sudah jadi bos malah baru nikah -- di Malang. Lalu si Nur di Gresik, yang ini bisanya cuman titip salam doang, si Titik Klaten, disusul bulan Agustus nanti tampaknya juga ada, si Said di Balikpapan, tapi kayaknya enggak bisa datang. Belum termasuk undangan tetangga kampung yang nikah... weleh.


Kembali ke cerita awal, sehabis pulangan kondangan dari Klaten, bareng Azhar saya sempatkan mampir di Bogem -- setelah Prambanan -- pinggir jalan minum es dawet Banjarnegara. Rasanya seger, manis, enak. Lupa sudah berapa kali saya minum es dawet di situ, yang jelas pertama kali saya minum bareng istri dan anak-anak sehabis dari Prambanan tahun lalu. Waktu itu BBM belum naik, sekarang BBM sudah naik pun harga segelas es dawet Banjarnegera masih stabil, Rp 1.000. Padahal, segelas es teh dengan volume yang sama lebih mahal 2x lipatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)